Just Do Simple Things (Yang sederhana-sederhana saja)


Bersama masyarakat acara Pawai Endog-endogan di Dusun Krajan, Desa Watukebo, Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi.Terkadang kita berpikir bahwa pemilih di Indonesia sangat demanding (banyak permintaan) terhadap caleg. Tentu itu tidak selamanya salah dan tidak selamanya benar. Kita sering kali terjebak dalam berita-berita yang mengatakan bahwa masyarakat selalu minta uang, minta jilbab, minta ini dan itu. Ternyata tidak selamanya begitu.

Pernah suatu hari saat saya memberikan sambutan di kelompok ibu-ibu, datang lagi seorang calon anggota DPD perempuan. Karena menghormati beliau, pidato saya langsung saya akhiri. Calon DPD ini lalu memberikan sambutan, dan setelah sambutan tanpa bilang apa-apa langsung pamit pulang.

“Walah-walah datang tidak salaman dengan semua jama’ah, pulang juga langsung kabur saja, tanpa salaman juga,” itu komentar pertama yang saya dengar dari salah satu ibu-ibu.

Saya pun terkaget. Iya, memang beliau datang langsung duduk, dan pamit pergi tanpa salaman dengan jama’ah yang hanya sekitar 30 orang. Sayapun yang kenal baik dengan beliau tidak juga disalamin saat pulang. Mendengar komentar ibu-ibu jama’ah yang hadir saat itu akhirnya saya berpikir, bahwa ibu-ibu ini hanya butuh merasa dimanusiakan, cukup menyalami mereka satu per satu sudah membuat senang. Bagi mereka ini menunjukkan sebuah keakraban dan persaudaraan.

Di satu kesempatan saya berkampanye dengan seorang teman caleg. Beliau memberikan sambutan dengan menggunakan bahasa Indonesia, dan dengan nada seperti orang yang berorasi di lapangan terbuka, belum lagi dengan janji-janji yang luar biasa. Terus terang saya sendiri sebagai caleg juga ngeri mendengarkan janji-janjinya. Kalau dihitung-hitung 5 periode jadi anggota dewan belum tentu dia bisa memenuhi janji-janji itu.

Walah kulo mboten paham blas nopo seng diaturkan bapak itu, lawong kulo mboten saget boso Indonesia. Padahal lho niku tiang mriki, kok sok guaya ndamel boso indonesia(Aduh, saya tidak paham apa yang disampaikan bapak itu, lah saya tidak bisa bahasa Indonesia. Padahal bapak ini orang sini, kok gaya pake bahasa Indonesia segala),” kata mbah tua yang duduk menyelonjorkan kaki di sampingku.

Setelah kejadian ini, saya setiap kampanye di wilayah yang menggunakan bahasa Jawa, saya pasti akan memakai bahasa jawa halus. Dan ternyata implikasinya sangat besar. Saya merasa lebih bisa diterima oleh masyarakat dan yang saya sampaikan bisa dimengerti oleh masyarakat. Pernah suatu waktu ada perempuan tua yang memeluk saya sambil bilang, “oalah jenengan niki kok yo pinter boso jawi tho, tiros kulo sekolah teng amerika terus mboten saget jawi. Mugi-mugi khasil maksude jenengan nduk (Oh ternyata anda pintar bahasa jawa ya, saya pikir karena sekolah di Amerika lalu tidak bisa bahasa Jawa. Semoga niatan Anda berhasil).” Dari sini saya sangat bersyukur bahwa saya berada di Dapil tempat kelahiran saya, sehingga saya tidak kesulitan mengikuti bahasa dan budaya masyarakat.

Cerita lain soal cara berkampanye. Basic saya yang bukan seorang politisi, tentu tidak bisa memberikan pidato berapi-api seperti kampanye. Saya tetap menggunakan cara pidato wong ndesoan, model pengajian seperti yang biasanya saya lakukan ketika mengisi acara Ibu-ibu pengajian. Bahkan saya tidak bisa kampanye yang membuat janji-janji. Bagi saya kampanye itu harus tetap santun dan yang terpenting harus memberikan pendidikan politik. Dalam kampanye saya akan menjelaskan kenapa kita tidak bisa lari dari politik, saya juga menerangkan apa fungsi dan tanggung jawab wakil rakyat dan sebagainya. Saya bahkan tidak pernah kampanye yang memberikan janji-janji, sebab saya sendiri belum pernah menjadi anggota dewan, dan saya tidak mau nantinya di akherat kaki saya terberati karena janji-janji yang belum saya tunaikan kepada masyarakat. Tapi bukan berarti saya tidak memiliki komitmen. Saya selalu mengedepankan tiga hal yang akan menjadi prioritas saya, pertama pendidikan, kesehatan reproduksi, dan entrepreneurship (kewirausahaan) perempuan.

Nah karena gaya saya berkampanye berbeda, salah satu tim saya pernah bilang, “jenengan itu kalau kampanye kurang sombong.” Saya pun kaget apa maksudnya, ternyata saya kalau berpidato terlalu santun. Saya sangat jarang menonjolkan cerita soal sekolah saya di luar negeri atau aktivitas-aktivitas lainnya di pemberdayaan masyarakat, yang saya utamakan adalah memberikan pemahaman masyarakat soal politik dan sering kali saya bumbui dengan materi agama lainnya. Di akhir pidato saya pun hanya akan bilang dengan menggunakan bahasa jawa “saya mohon barokah doa dari anda semua, semoga bila saya ditakdirkan menjadi wakil anda semuanya, saya bisa menjadi wakil yang amanah dan bisa membawa aspirasi masyarakat, serta memberi manfaat kepada masyarakat.” Walaupun ada tim yang complain terhadap cara saya berkampanye, namun ada juga yang mendukung saya untuk mempertahankan cara saya berkampanye, katanya bagi masyarakat desa, style saya ini lebih bisa diterima.

Dari sini saya bisa mengambil kesimpulan bahwa sebenarnya masyarakat tidak perlu sesuatu yang ‘Wah’, mereka hanya butuh disapa dan dimanusiakan.




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.