Ini Beda RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Produk UU Lainnya


Pengaturan tentang kekerasan seksual dalam KUHP sangat terbatas, secara garis besar bentuk kekerasan seksual hanya perkosaan dan pencabulan.

MajalahKartini.co.id – Pengaturan yang tersedia dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum sepenuhnya menjamin perlindungan hak korban, seperti adanya rumusan pasal yang menetapkan salah satu unsurnya adalah ancaman, sehingga korban yang berada dalam relasi kuasa yang tidak setara dengan pelaku atau berada dalam kondisi tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya, tidak terlindungi oleh ketentuan ini.

Dalam pertemuan majalahakrtini.co.id dengan Nihayatul Wafiroh, anggota DPR Komisi IX yang juga pengusul RUU Penghapusan Kekerasan Seksual diterangkan bahwa meskipun ada KUHP, UU KDRT dan UU Perlindungan anak, belum secara komprehensif mengurangi kasus-kasus kekerasan seksual.

Dalam RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pasal 11 berbunyi:

1. Pelecehan seksual : Setiap orang yang melakukan tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain, yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang yang terkait hasrat seksual yang mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan
2. Eksploitasi seksual : Setiap orang dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu daya, rangkaian kebohongan, nama atau identitas atau martabat palsu, atau penyalahgunaan kepercayaan, agar seseorang melakukan hubungan seksual dengannya atau orang lain, atau perbuatan yang memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait hasrat seksual dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain
3. Pemaksaan kontrasepsi
4. Pemaksaan aborsi
5. Perkosaan
6. Pemaksaan perkawinan
7. Pemaksaan pelacuran
8. Perbudakan seksual
9. Penyiksaan seksual

Menurut Nihayah, terdapat perbedaan RUU P-KS dengan produk undang-undang lainnya yaitu:
1. KUHP yang mengatur tindak pidana umum : Pengaturan KUHP terbatas, hanya berupa perkosaan dan pencabulan.
2. KUHAP: KUHAP tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual dalam segala aspek.
3. UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga : pasal 8 UU PKDRT menyebutkan bentuk kekerasan seksual yang dimaksud berupa pemaksaan hubungan seksual terhadap orang yang menetap dalam ruang lingkup rumah tangga dan pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam ruang lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersil dan atau tujuan tertentu.
4. UU No 23 tahun 2002 dan UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak hanya mengatur kekerasan seksual yang berupa eksploitasi seksual.

Pencegahan, lanjut Nihayah adalah salah satu ruang lingkup dari penghapusan kekerasan seksual yang merupakan kewajiban Negara, di mana dalam pelaksanaannya dilakukan dengan melibatkan keluarga, masyarakat dan korporasi. “RUU ini juga melengkapi peran dan tugas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban untuk penyediaan perlindungan terhadap saksi dan korban kekerasan seksual,” pungkasnya.

http://majalahkartini.co.id/berita/peristiwa/ini-beda-ruu-penghapusan-kekerasan-seksual-dengan-produk-uu-lainnya/




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.