Pernikahanku


Aku pandang nanar baju kebaya dengan broklat warna perak indah yang tergantung di belakang pintu kamar. Kuhela nafas dalam-dalam, tapi sesak di hati tak jua hilang.

Harum bunga sedap malam yang diletakkan dalam toples bening di pojok kamar merebak memenuhi ruangan. Aku duduk dipinggir tempat tidur. Sprai warna kuning keemasan terhampar indah di tempat tidur yang baru dibeli seminggu lalu. Seluruh dinding tertutup kelambu yang berhias bunga. Seperangkat make up lengkap telah berjejer manis di meja rias. Entahlah siapa yang telah mempersiapkan ini semauanya.

Sebulan yang lalu Abah dan Umi datang menjengukku di pesantren. Seperti santri lainnya, mendapat kunjungan dari keluarga adalah hal yang paling membahagiakan. Sebenarnya aku cukup heran kenapa Abah dan Umi datang seminggu lebih awal dari jadwal waktu pengirimanku.

“Aku kangen awakmu Nduk.” Itu jawaban dari Abah ketika aku bertanya.

Setelah sekitar setengah jam berbincang-bincang, Abah memintaku kembali ke asrama, karena Abah dan Umi hendak mengobrolkan hal penting dengan Kyaiku. Sebagai anak yang tahu tata krama tidak pantas rasanya aku bertanya hal apa gerangan yang akan mereka perbincangkan. Memang hubungan Abah dan Kyai sangat dekat. Mungkin karena satu perguruan dan sama-sama memiliki pesantren. Jadi beliau berdua sering bertukar pengalaman.

Sehari setelah kedatangan orang tuaku, Kyai memanggilku ke ndalem. Mendapat panggilan khusus dari sang Kyai merupakan kehormatan yang luar biasa bagi seorang santri. Aku pun segera bergegas ke ndalem Kyai sambil tak henti-hentinya bertanya dalam hati, ada apakah Kyai memanggilku?.

“Khumairo, kamu sekarang kelas berapa?” Tanya Kyai padaku sambil duduk di kursi, sedangkan aku duduk bersimpuh di lantai.

“ Kelas tiga aliyah Kyai,” jawabku pelan dengan tanpa menengadahkan kepala. Bisa dicap menyalahi adab bila santri sepertiku memandang wajah Kyai.

“Wes gede ternyata awakmu Nduk.” Kyai tertawa kecil. Aku hanya tersenyum.

Aku perbaiki posisi sarungku agar bisa menutupi semua mata kakiku. Kyai menyeruput kopi di gelas besar yang memang di khususkan untuknya.

“Kemarin Abahmu mengamanatkan kepadaku untuk membicarakan hal ini denganmu.” Kyai diam sejenak. Aku semakin sibuk bertanya-tanya dalam hati.

Seperti dipukul dengan palu dari belakang dengan tiba-tiba saat Kyai memberitahukan kalau Abah telah menerima lamaran dari putra Kyai Zakaria yang tidak lain adalah keponakan dari Kyaiku sendiri. Dan yang membuatku semakin kaget ternyata tanggal pernikahan telah ditetapkan, yakni sebulan persis dari hari ini. Atau tepatnya dua hari setelah aku menerima Ijazah Aliyahku.

Mataku panas. Pelan, air mataku jatuh. Aku mencoba menahannya hingga tubuhku berguncang. Aku usap air mataku dengan ujung jilbab.

“Abahmu berusaha mencari yang terbaik untukmu. Yakinlah pilihan abahmu sudah melalui pertimbangan yang matang. Sebagai anak yang baik, kamu harus patuh.”

Aku hanya mampu merunduk dalam dengan tangis yang tak henti ketika Kyai menasehatiku. Apa yang bisa dikatakan oleh seorang anak dan santri bila keputusan telah dibuat, selain mengikuti semuanya.

Esok adalah hari pernikahanku. Aku pulang ke rumah dua hari sebelum hari H. Ketika aku datang semua penghuni rumah telah sibuk. Ada yang membuat kue, menyiapkan tenda, pelaminan dan juga memasak. Aku sendiri tidak tahu menahu dengan persiapan pernikahan ini. Bahkan baju pengantin yang akan aku pakai baru aku lihat dua jam setelah kakiku masuk rumah.

Santri-santri Abah juga tidak kalah sibuk. Mereka harus membersihkan pesantren karena akan banyak tamu yang datang. Menurut Pakde Halim waktu akad Nikah pada hari Jumat pagi ada sekitar 200 orang yang diundang. Sedangkan untuk resepsi yang diadakan habis Sholat Jumat, Pakde Halim telah menyebarkan undangan sekitar 1000.

Gus Adnan, adalah nama calon suamiku. Selama ini aku hanya mendengar namanya saja dari obrolan antar santri di pondok. Memang keponakan Kyai ini sangat terkenal di kalangan santri, disamping katanya berwajah tampan, dia juga terkenal yang paling nakal di keluarga Kyai Zakaria. Cap play boy sering ditujukan padanya. Salah seorang primadona pondokku pernah menjadi kurban dari cinta main-mainnya Gus Adnan. Semua saudara Gus Adnan mengenyam pendidikan pesantren, hanya Gus Adnan sendiri yang tidak mau ke pondok, bahkan dia sekolah SMA di luar pesantren orang tuanya. Pesantren Gus Adnan memang berbeda kabupaten dengan pesantren yang aku tempati. Tapi menurut mbak-mbak yang menjadi khodam di ndalem, Gus Adnan sering datang ke pesantren pakleknya ini.

Track record Gus Adnan yang tidak putih sebenarnya menjadikan aku gamang dengan pernikahan ini, terlebih belum pernah sekalipun kami bertemu. Walaupun aku putri seorang Kyai juga, tapi wajahku tidak cantik, bodykupun tidak bagus. Menurut cerita teman-teman, selera Gus Adnan sangat tinggi, bahkan dia pernah menggaet juara Putri daerah di tempatnya. Aku benar-benar minder. Tapi menurut Umi, Gus Adnan telah melihat foto-fotoku dan dia setuju menikah denganku.

“Umi dulu menikah dengan Abahmu juga tidak pernah bertemu sebelumnya, toh ternyata hingga sekarang baik-baik saja.” Umi menghiburku.

Tamu sudah mulai berdatangan. Group musik hadrah pesantren telah mulai melantunkan shalawat di masjid. Sejak subuh tadi aku sudah mulai dirias. Aku pasrah, walaupun sebenarnya hatiku menderu tidak karuan.

Aqad nikahku akan dilangsungkan pukul 9.30. Keluarga pengantin laki-laki dijadwalkan datang pukul 8.30 atau paling lambat jam 9. Walaupun berbeda kabupaten, tapi jarak rumahku dengan rumahnya Gus Adnan bisa ditempuh paling lambat hanya dua jam.

Jarum jam sudah mendekati pukul 9. Tapi rombongan pengantin laki-laki tak kunjung datang. Aku mengintip dari jendela kamar pengantinku, sepertinya semua orang panik. Pakde Halim mondar-mandir sambil HP nya terus menempel di telinga. Umi duduk menyendiri di pojok tenda dengan wajah tegang.

Akupun terus menanti dengan hati dag dig dug.

“Ya Allah….” Aku dengar suara ucapan takbir dari Umi lalu diiringi dengan tangis. Aku tidak berani keluar kamar. Menurut pesan panitia dan perias aku hanya boleh keluar kamar bila pengantin laki-laki sudah datang, biar jadi kejutan katanya. Sebenarnya aku ingin sekali keluar, melihat apa yang terjadi.

Dari jendela yang aku buka sedikit, aku lihat Abah sedang menangis dalam pelukan Pakde Hatim. Dari ruang tamu yang tepat didepan kamarku terdengar tangis beberapa orang, sepertinya itu suara Umi dan Bulek Ana.

Aku menangkap sinyal ketidakberesan dari rencana pernikahan ini. Apalagi bunyi hadrah dari masjid tiba-tiba berhenti. Tapi kepada siapa aku harus bertanya. Tidak seorangpun datang menjelaskan padaku. Periasku pun sudah sejak tadi meninggalkan kamarku.

Waktu dhuhur datang. Gus Adnan belum datang juga. Dan aku masih diam. Duduk sendiri di kamar dengan riasan pengantin lengkap.

Sehabis dhuhur yang seharusnya adalah acara resepsi, hanya ada beberapa tamu yang datang, itupun langsung pergi setelah berbisik-bisik sebentar dengan tetanggaku yang kebagian sebagai penerima tamu. Aku hanya bisa mengikuti semuanya dari jendela kamar.

“Ada apa ini sebenarnya?” Jeritku dalam hati.

Aku semakin gelisah ketika malam datang. Tak ada tanda-tanda pengantin laki-laki datang. Keluargaku? Entah apa yang terjadi, tak satupun dari mereka mengatakan sesuatu padaku, bahkan tak ada yang masuk ke kamarku. Aku? Masih setia dengan pakaian pengantin dan sanggul yang berat ini.

Waktu Isya’ datang.

Akhirnya ada juga orang yang membuka pintu kamarku. Aku langsung berdiri menyambut. Bulek Ana masuk membawa satu piring nasi. Mata Bulek Ana sembab.

“Nduk, makan dulu.” Suara Bulek Ana bergetar. Piring diletakkan di meja rias.

“Sebentar Bulek.” Sebelum Bulek Ana pergi bergegas keluar kamar, aku berhasil menarik tangannya.

“Ada apa sebenarnya ini Bulek?”

Bulek Ana menunduk. Bukan jawaban yang aku terima malah tangisan.

Bulek Ana lalu menubrukku dalam pelukannya. Tangisnya benar-benar telah pecah. “Sabar yo Nduk. Gus Adnan semalam minggat dari rumahnya dan tidak ditemukan hingga sekarang.”

Aku tegang. Tidak menangis. Tidak menjawab apa-apa. Hingga Bulek Ana keluar kamar. Aku masih mencoba mencerna apa yang dikatakannya. Aku mematung

Seluruh persendirianku sepertinya tersedot habis diperut bumi, hingga aku limpung terduduk di kursi. Akhirnya seluruh beban di dada yang aku simpan selama sebulan ini mencapai puncaknya sekarang dan pertahananku jebol sudah. Air mataku deras mengalir.

Sejam kemudian, saat aku sadar tidak ada lagi yang bisa diperbuat dengan semua rencana pernikahan ini, aku mulai mencopoti satu persatu pakaian pengantinku. Aku ingin segera melepaskan semuanya seperti halnya aku ingin membuang jauh segala sakit hati.

Sekarang aku sudah berada di kereta. Aku kembali ke pesantren untuk mewujudkan mimpiku menghafalkan Qur’an. Aku berusaha tegar dengan kejadian kemarin. Aku tidak mau lagi mimpiku terkoyak hanya karena perjodohan konyol seperti ini lagi.

It has been published in Swara Rahima, Edition 29, August 2010




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.