Kondektur dan Karcis


Gara-gara tidak bisa tidur, tiba-tiba teringat sebuah kejadian sekitar 8 tahun lalu.

Saat itu aku bersama adekku Hilda dan Anak pertamaku Kavin, sedang dalam perjalanan ke Jember. Keluarga besarku sudah berangkat duluan ke Jember, karena harus menyiapkan acara di rumah Mbahku di Jember. Aku kebagian nunggu dua krucil ini (saat itu mereka berdua baru duduk di SD) yang sedang melaksanakan ujian di sekolahnya. Jadi kami bertiga ke Jember dengan naik bis.

Memasuki kota Glenmore  yang berjarak sekitar 15 km dari tempat aku naik bis, kondektur sudah meminta uang karcis kepadaku. “Tiga kursi pak” Kataku sambil menyodorkan uang pada kondektur. Biasanya menurut pengalamanku selama ini kondektur akan memberikan karcis sambil menerima uang. Namun kali ini tidak, “karcisnya nanti yo mbak,” kata kondektur tersebut sambil memberikan uang kembalian padaku. Dan aku diam.

Perjalanan dari Genteng ke Jember membutuhkan waktu 1,5 – 2 jam. Ketika perjalanan sudah satu jam, aku coba meminta karcis ke kondektur, tapi dia menjawab “nanti aja mbak.” Aku sendiri heran, kenapa aku tidak diberi karcis, padahal di tangannya ada segebok karcis. Bagiku karcis selain sebagai bukti pembayaran, tapi juga menjadi hakku. Memang setiap naik kendaraan umum aku selalu menyimpan karcis hingga tempat tujuan, karena dulu aku pernah punya pengalaman menghilangkan karcis lalu di tengah perjalanan bis yang aku naiki mogok, jadi aku harus dioper ke bis lainnya. Karena karcisku hilang, aku gak memiliki bukti pembayaran, jadi aku harus membayar lagi. Maka saat itu aku ngotot minta karcis.

Perjalananku saat itu kurang beberapa kilo lagi, dan sudah tiga kali aku meminta karcis kepada kondektur, namun jawaban yang sama selalu aku dapatkan. Di kursi seberang aku duduk, ada seorang bapak yang terus melihatku setiap kali aku menghentikan langkah kondektur yang hilir mudik untuk meminta karcis. Sambil berbisik-bisik Bapak itu bilang ke aku “Mbak, itu biasanya kalau gak dikasih karcis berarti uangnya akan dikantongi sendiri dengan kondekturnya.” Sebenarnya bukan aku tidak tahu dengan modus operandi ini, tapi bagiku ini perbuatan curang. Bayangkan, sopir yang seharian harus konsentrasi menyetir bis, dan menjadi tumpuan keselamatan orang banyak harus menerima pendapat lebih kecil gara-gara aksi curang kondektur. Ini benar-benar melanggar hak orang lain. Mendengar perkataan bapak tadi aku menjawab “Saya tahu kok pak.” Entah apa yang ada dalam pikiran bapak ini kok jawaban yang diberikan terkesan membela kondektur, dia bilang “Lawong sudah tahu kok masih tetap ngotot minta karcis tho mbak, mbok dibiarin aja, lagian juga cuman 24 rb saja.” Pengen sebenarnya nyolot dan menceramahin bapak tersebut, tapi entahlah kok saat itu aku sedang sabar, hingga aku hanya menjawab “Ya terserah saya pak.” Dan Bapak tersebut hanya bersungut-sungut tanda jengkel sambil duduk mendekati jendela.

Ternyata memang kondektur bis ini tidak berniat memberikan karcis padaku. Sampe tingga beberapa ratus meter dari tempat aku harus turun, kondektur itu tetep tidak bergeming. Saat itu tempat dudukku, berada di deretan belakang, dekat dengan pintu bis bagian belakang. Entah karena untuk menghindar dari aku atau alasan lainnya, kondektur itu lebih memilih duduk di bangku depan, dekat pintu depan. Sebenarnya waktu turun bisa saja aku keluar lewat pintu belakang, tapi aku tetap ingin meminta hakku dan mungkin hak orang lain dari kondektur tersebut, akhirnya aku maju ke depan.

Sesaat sebelum turun aku bilang ke kondektur yang kebetulan dia sedang duduk di dekat sopir. “Pak, saya naik mulai Genteng, dari tadi sudah 4 kali saya meminta karcis, tapi tidak dikasih, mana pak, kasih karcis saya sekarang.” Wajah kondektur itu terlihat kaget dan sedikit salah tingkah. Wajah sopir bis juga sepertinya kaget dan ada semburat marah. Ketika kondektur tersebut membuatkan karcis buatku, sopir bis marah-marah “Kok gak digawekne karcis? awakmu arep ngapusi aku yo (kok gak dibuatkan karcis, kamu mau bohongin aku ya?)” kondketur itu hanya diam, dan memberikan karcis padaku sesaat sebelum aku turun dari bis. Sebelum keluar bis, aku masih sempat mendengar sopir ngomel-ngomel pada kondektur. It is not my bussines hehehe.

Sebenarnya aku tidak ingin membuat konflik antara sopir dan kondektur, tapi bagiku lebih baik sopir tahu apa yang dilakukan kru lainnya.

Ternyata selembar karcis yang berharga hanya 8rb bisa jadi ajang penipuan, pengambilan hak orang lain dan bisa menyulut pertengkaran.




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.