16 Tahun Memecah Kebisuan


komnas perempuan

Korban perkosaan Mei 1998 masih terluka. Mereka sering trauma. Hal ini diperparah dengan belum adanya keadilan bagi mereka. Situasi ini semakin rumit dengan produk-produk pengetahuan yang  bias gender.

Cara orang berbicara tentang tubuh perempuan, cara media memberitakan perempuan, cara orang memandang para korban kekerasan, seringkali malah melanggengkan bahkan memperparah trauma itu.  Misalnya, banyak orang yang membicarakan perkosaan dengan mengulik perihal pakaian yang dipakai korban. Jelas-jelas cara semacam itu menyudutkan korban.

Dalam ruang semacam itulah saya  memaknai arti penting kehadiran 16 tahun KOMNAS Perempuan di tengah-tengah kita. Institusi ini sangat penting untuk mendobrak konstruk berfikir masyarakat yang masih bias gender.

Pada tragedi Mei 1998, banyak lelaki yang memerkosa para perempuan. Wacana China saat itu bisa menyulut dan memprovokasi mereka  memerkosa dengan keji. Celakanya, hingga sekarang dalang tindak kekerasan itu  belum diadili.

Jika tindak kekerasan pada perempuan  di ruang publik yang jelas-jelas terlihat dan telah diungkap   banyak media, semacam tragedi Mei 1998, tidak ada kepastian hukum, apalagi kekerasan-kekerasan domestik yang disembunyikan rapat-rapat, yang tak bisa terjamah media. Rocky Gerung, saat diskusi pada refleksi KOMNAS Perempuan pada 15 Oktober 2014 lalu, mengatakan bahwa rumah yang seharusnya menjadi tempat perlindungan bagi perempuan, malah sering menjadi tempat kekerasan massal. Jangan-jangan lebih banyak perempuan yang mengalami kekerasan dalam wilayah domestik daripada di ruang publik?

Ruang besar yang memperlebar dan melanggengkan kekerasan itu adalah patriarkhi. Patriarkhi merupakan relasi kuasa yang selalu menomersatukan cara pandang lelaki dalam memandang perempuan. Rocky mengibaratkan situasi itu dengan perampasan rahim perempuan.  Ia mengatakan bahwa  rahim perempuan dirampas patriarkhi yang ada di media, di jalan-jalan, di lembaga-lembaga keagamaan dan sebagainya. Intinya, kuasa itu diproduksi dan kita konsumsi sehari-hari. Efeknya, banyak yang menganggap patriarkhi sebagai sebuah kewajaran.

Ruang patriarkhi yang mengepung perempuan bukan saja berefek pada cara lelaki melihat perempuan, tetapi juga pada cara perempuan melihat dirinya sendiri. Karena itu, selain membuka ruang bagi lelaki untuk melakukan kekerasan pada perempuan, patriarkhi juga menyempitkan ruang penyembuhan bagi para korban.

Jika begitu masif kuasa mata lelaki, maka perjuangan untuk mendampingi dan mengadvokasi para korban tentu mempunyai hambatan yang maha besar. Dahsyatnya hambatan itu tampak jelas dari penuturan para aktivis yang terjun langsung mendampingi  korban kekerasan.

Hermin, salah satu panelis dalam refleksi 16 tahun Rekam Juang KOMNAS Perempuan, menceritakan pengalamannya mendampingi korban perkosaan. Banyak para korban yang sulit, ketakutan menceritakan peristiwa kekerasan yang mereka alami. Perlu pendekatan khusus yang membutuhkan waktu cukup lama, agar para korban bersedia menceritakan peristiwa itu. “Kadang tiga bulan baru bersedia mengaku, bisa juga lebih lama. Karena luar biasa trauma yang ditimbulkannya.” cerita Hermin.

Itu baru pengalaman yang diceritakan pihak luar, orang yang tidak mengalami perkosaan. Tentu  secara psikologis jauh lebih rumit situasi yang dialami korban.

Dan, ruang-ruang untuk mempersempit patriarkhi, jika begitu sulit memberantasnya langsung, tentu harus terus diperjuangkan. KOMNAS Perempuan yang lahir dan secara tegas memposisikan diri sebagai ruang untuk menyempitkan kekerasan terhadap perempuan tentu butuh kerja sungguh keras. 16 tahun untuk memperjuangkan wacana yang telah beratus-ratus tahun diproduksi tentu tidak cukup. Banyak cara dan jalan yang harus dicari dan ditempuh. Memecah kebisuan butuh usaha dan tenaga ekstra.

Sebagai anak bangsa, sebagai wakil rakyat yang telah mengkampenyakan untuk selalu sensitif pada para korban, tentu ini menjadi tantangan tersendiri buat saya. Ratu Hemas, salah satu panelis dalam refleksi 16 tahun KOMNAS Perempuan,  menyampaikan kesulitan yang ia alami ketika memperjuangkan anggaran-anggaran untuk kepentingan para korban. Ia menuturkan seringnya kegagalan memperjuangakn hak-hak para korban di parlemen.

Minimnya pengetahuan anggota  dewan tentang pengarusutamaan gender merupakan faktor utama yang mematahkan perjuangan itu. Jika di ruang-ruang kuliah yang saya ikuti, kajian tentang gender  makanan sehari-hari, maka di ruang –ruang lain bisa jadi hal itu masih menjadi barang mewah. Karenanya, saat acara Refleksi di KOMNAS Perempuan itu, saya mengajak seluruh pihak yang hadir agar bergandengan tangan, bahu membahu memecah kebisuan. Dari legislatif, eksekutif, organisasi masyarakat serta masyarakat secara luas harus kerja sama. Dan, sekali lagi, perjuangan untuk menghapus dan meminimalisir kemungkinan terulangnya peristiwa perkosaan dan bentuk kekerasan lainnya pada perempuan tentu butuh gotong royong, butuh kebersamaan berbagai pihak.




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.