Never Give Up 3 (Mengejar Beasiswa IFP)


Tulisan ini adalah kelanjutan Never Give Up 1 dan Never Give Up 2. Dan kali ini aku akan menuliskan pengalaman mengejar beasiswa untuk level master dari IFP (International Fellowship Program) yang didanai oleh Ford Foundation dan diurus oleh IIEF.

Saya sebelumnya belum pernah mengetahui ataupun mendengar beasiswa IFP ini hingga suatu hari di pertengahan tahun 2003, seorang tetangga rumah meminta suamiku untuk membantu mengoreksi bahasa inggris untuk applikasi beasiswa yang hendak dia ajukan ke IFP. Alih-alih tertarik untuk menanyakan lebih lanjut program ini, tertarik untuk membaca aplikasinya saja aku tidak.  Saat itu aku baru menginjak semester 6 dan sedang sibuk-sibukknya menulis skripsi, KKN, dan menyelesaikan kuliah akta 4 di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) dan kondisiku sedang hamil anak kedua.

Ketidak tertarikanku mungkin juga karena sadar diri kalau kemampuan bahasa Inggrisku bisa dibilang sangat parah hehehe. Walaupun waktu sekolah Mts mata pelajaran bahasa inggris adalah favoriteku tapi semua kemampuanku tidak bisa berkembang setelah aku melanjutkan sekolah di MMA (Madrasah Muallimin Muallimat Atas) Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang. Sebab di sekolah ini yang lebih ditekankan adalah pelajaran agama. Jadi benar-benar interest di bahasa tidak terasah sama sekali, apalagi aku juga tidak terlalu tertarik dengan bahasa arab. Tapi aku tidak pernah menyesal sekolah di MMA, karena kemampuanku di bidang lain bisa terasah dengan baik. Bukankah tidak ada sesuatu yang bersifat kebetulan dan sia-sia kan??

Saat itu aku malah mendorong suamiku untuk mencari beasiswa ke luar negeri. Aku pikir kalau dia bisa mendapat beasiswa ke luar negeri, aku bisa ‘numpang’ untuk bisa travel ke luar negeri hehheeh. Dorongan ini semakin aku tekankan ketika aku tahu kawan yang pernah meminta suamiku mengoreksi applikasinya ternyata diterima program IFP. Dan sepertinya suamiku juga tertarik untuk mengikuti jejak kawan tersebut.

Aku sendiri setelah lulus S1, sempat ingin mencoba cari beasiswa ke Malaysia, dengan pertimbangan bahasa Inggris di Malaysia tidak terlalu ditekankan seperti halnya negara-negara yang memang bahasa Inggris menjadi bahasa utama (walaupun akhirnya aku tahu kalau di Malaysia pun kemampuan bahasa Inggris jadi pertimbangan penting). Tapi aku tidak terlalu serius dengan keinginan ini. Bahkan aku memutuskan untuk pulang ke Banyuwangi dan mengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Darussalam (STAIDA), sambil bantu Ibu di rumah.

Sebulan di rumah, aku baru merasakan kehausan untuk belajar. Rumahku yang di desa, jauh dari informasi, dan internet saat itu masih menjadi barang langka, terlebih hanya satu macam Koran yang bisa aku akses setiap harinya, menjadikan aku merasa terisolir dari dunia yang selama 6 tahun terahir aku geluti di Jogja. Tidak ada kawan diskusi, tidak ada input hingga menjadikan ide untuk menulis tidak muncul. Kegelisahan ini yang mendorongku untuk mencari alternative lain untuk belajar. Akhirnya aku putuskan untuk mendaftar di Universitas Jember (Unej) di program Magister manajemen (MM). Pemilihan jurusan ini juga terbilang lucu, karena aku mencari jurusan yang memiliki jam kuliah weekend, karena kalau hari-hari biasa aku mesti ngajar di STAIDA, dan hanya ini satu-satunya jurusan. Jadilah setiap sabtu dan minggu aku selalu ke Jember.

Sempat shock dan gak Pede mengikuti kelas ini, karena semua kawan di kelas adalah orang-orang yang sudah mapan secara karir dan ekonomi. Ada yang pengusaha beras, dokter, kepala Telkom wilayah Jember-Banyuwangi-Lumajang, dosen, dan beberapa PNS. Sedangkan aku??? Alih-alih mapan secara ekonomi, tiap berangkat kuliah aja masih numpang bus, lalu lanjut lin E terus naik becak. Jadi tidak heran bila kawan-kawan sering kali menawarkan bantuan untuk menumpang di mobil-mobil mewah mereka. Di samping itu perbedaan materi kuliah membuatku sempat ingin meninggalkan kuliah. S1 ku yang focus pada tafsir dan hadis, kemudian harus switch ke hitung-hitungan. Padahal jujur, sejak SD, nilai matematikaku tidak pernah bagus. Tapi bagaimana lagi, ini satu-satunya cara bagiku agar otakku tidak berhenti.

Sekitar empat bulan di rumah, suamiku yang saat itu harus pulang-pergi Banyuwangi-Semarang bercerita kalau dia baru saja mengirimkan applikasi beasiswa ke IFP. Tentu aku seneng banget, dan akhirnya aku jadi kepikiran “kenapa aku tidak mencoba juga?.” Deadline pengiriman applikasi kurang 15 hari lagi, dan dalam waktu yang super sempit aku berusaha mengirimkan applikasi IFP ini. Alhamdullillah bisa mengirimkan tepat waktu.

5 bulan berlalu, sambil terus menjalani kuliah di Unej, aku tetep harap-harap cemas menanti jawaban dari applikasi kami. Alhamdulillah akhir Desember, ada jawaban, bahwa aku dan suami bisa lanjut untuk step berikutnya, yakni full applikasi. Mulailah aku dan suami menyiapkan setumpuk document yang diperlukan, mulai mencari surat referensi dari dosen dan atasan, ligalisir ijazah dan transkrip dalam 2 bahasa hingga mengisi applikasi yang memakai dua bahasa.

Ada 3 nama yang sebenernya hendak aku mintai surat rekomendasi, pertama Prof. Dr. Muhammad Chirzin (pembimbing Skripsi), Mufidah MA (ketua Pusat Studi Gender, UIN Malang) dan Prof. Dr. Amin Abdullah (Rektor UIN Sunan Kalijaga). Dua orang pertama sangat mudah untuk ditemui dan beliau berdua sangat senang memberikan rekomendasi. Permasalahan datang ketika harus meminta rekomendasi Pak Amin Abdullah. Ketika aku datang staf rector memintaku meninggalkan form untuk rekomendasinya dan menyuruhkan kembali hari berikutnya. Hingga tiga hari berturut-turut rekomendasi belum juga keluar. Pada hari keempat, staf rector memberitahuku bila pak rector tidak berkehendak untuk memberikan rekomendasi kepadaku, karena beliau tidak pernah mengajarku secara langsung. OH GOD. Aku mencoba untuk menego staf tersebut untuk bisa bertemu Pak rector, ternyata hasilnya sama “TIDAK MAU MENEMUI.” Gusti Allah, sombong nian orang ini.

Ternyata Allah memberi jalan lain. Suamiku yang saat itu di Jakarta sedang meminta surat rekomendasi dari Prof. Dr. Azyumardi Azra, yang saat itu menjabat sebagai rector UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Ketika meminta rekomendasi tersebut, suamiku iseng-iseng bilang “Bang, kira-kira kalau istri saya meminta rekomendasi dari abang bisa tidak?,” tanpa disangka beliau bersedia, dan meminta transcript nilai S1 ku. Bagi beliau as long as untuk belajar dan kemajuan seseorang beliau sangat welcome untuk membantu, walaupun secara personal aku tidak mengenal beliau. Benar-benar sang pendidik sejati. Seorang kawan sempat melontarkan komentar tentang kejadian ini ‘Wah Ninik, kamu tidak mendapat lele malah mendapat hiu.” Dalam artian aku tidak mendapat rekomendasi dari pak Amin, eh malah mendapat dari pak Azra. Aku sendiri baru bisa bertemu langsung kali pertama dengan pak Azra saat kuliah di Hawaii, waktu itu beliau menghadiri acara di East West Center.

Semua proses pendaftaran ini aku jalani diam-diam, tidak ada keluarga yang tahu. Aku dan suami enggak mau heboh-heboh terus akhirnya tidak lulus, kan yo malu banget J. Eh ternyata proses diam-diamku tidak bisa bertahan lama, karena waktu surat selanjutnya yang memberitahukan aku dan suami bisa masuk tahap test TOEFL, abahku membaca surat tersebut. Jadilah gantian abahku yang heboh dan alhamdulillah semua mendukung kami.

Mendengar kata TOEFL badanku sudah meriang semua, sumpah aku deg-degan pol, karena aku tahu kemampuan bahasa Inggrisku, dan tidak pernah sekalipun aku mengikuti test Toefl. Akhirnya dalam waktu yang sangat sempit aku menggenjot bahasa Inggris ku. Walaupun begitu dalam hati yang paling dalam aku sangat pasrah dengan hasilnya nanti. Bagiku mengikuti test Toefl seperti pungguk merindukan bulan ehhehehe. Saat test berlangsung aku ketemu kawan lamaku, namanya Alfiah. Dia teman satu kamarku saat di pondok Al-Fathimiyyah, Tambakberas. Kami dekat banget dulu, bahkan aku sempat ngefans pool sama dia (ih jadi pengen ketawa ingat masa-masa itu J). Alfi saat itu hamil besar. Seneng banget bisa mengikuti test bersama kawan lama. Test Toefl diadakan di Surabaya. Wah melihat banyaknya orang yang ikut, dan kelihatan mereka sangat expert dalam bahasa Inggris membuatku sangat grogi. Tapi ya sudahlah BISMILLAh.

Satu bulan kemudian alhamdulillah aku dan suami mendapat panggilan untuk melakukan tahap terahir test, yakni Interview. Tempat interview dilakukan di Wisma Kagama, UGM, Jogja. Mulai tahap ini bebanku semakin bertambah, karena mungkin karena terlalu bersemangatnya ortuku, hingga beliau menceritakan tentang pendaftaranku ini ke saudara-saudara dan masyarakat. jadi sudah sangat terkenal kalau aku mau sekolah ke Amerika. Duh..Tuhan… padahal belum tentu diterima. Bahkan saat acara Dzikru Syafaah yang merupakan acara dzikir yang diadakan alumni pondok Darussalam Blokagung, Pakde Hisyam yang saat itu memimpin acara dzikir sempat memberikan fatehah khusus ke kami berdua dengan sebelumnya bilang “Semoga Nduk Nik dan Suaminya, diberi kemudahan dalam pendaftaran sekolah ke Amerika.”  Padahal yang mengikuti acara dzikir yang diadakan sebulan sekali ini ada ribuan orang..huwaaaaa….. jadi orang sebegitu banyak tahu semua. Tapi ya sudahlah semakin banyak orang mendoakan semakin baik.

Saat interview staff IFP sempat kaget, mereka baru sadar kalau kami suami istri, bahkan mereka sampai mengecek form mendaftarannya. Mereka baru manggut-manggut percaya ketika melihat nama anak kami sama, dan di nama pasangan memang kami suami-istri. Menurut mereka dari 4 kali angkatan, baru kali ini suami-istri bisa masuk bersama-sama hingga tahap wawancara. Saat itu aku sempat iseng tanya ke mbak Kartika (Staff IFP), kemungkinan dalam satu daerah ada dua orang yang diterima, beliau menjawab “Kalau satu daerah ada 2 orang yang diterima sangat mungkin, tapi kalau dalam satu rumah ada 2 orang yang diterima, kayaknya enggak deh.” Wahhh… alamat ini, gak mungkin dua-duanya diterima. Untuk menenangkan hati saat aku aku menjawab pernyataan mbak Kartika dengan iseng, “Wah Mbak, kalau kami bukan hanya satu rumah, tapi satu ranjang hahahahha.”

Waktu test wawancara, ada 3 orang yang mewawancarai aku. Dua perempuan (satu berjilbab) dan satu laki-laki. Aku sendiri tidak kenal mereka. Proses wawancara berjalan lancar, bahkan kesannya bukan seperti wawancara tapi lebih pada diskusi, karena mereka malahan banyak bertanya tentang isi skripsiku yang kebetulan di terbitkan oleh PSW (pusat study wanita) UIN jogja.

Setelah interview, aku dan suami sudah pasrah, kita akan menerima apapaun nanti hasilnya. Dan kita sudah berjanji, siapapun nanti yang diterima yang satunya akan ikut sekolah. Jadi kalau aku diterima, dia juga akan ikut aku, begitu juga sebaliknya. Bulan Juli 2005, aku dan kakak Kavin (anak pertamaku), jalan-jalan ke Jogja. Pulang dari Jogja, suamiku mengabarkan kalau dia mendapat surat dari IIEF kalau dia tidak diterima. Tapi aku tidak mendapatkan surat apapun, jadi harapan masih menyala.

Tanggal 20 Agustus 2005, aku disibukkan oleh acara Wisuda pertama STAIDA (sekolah tinggi agama Islam Darussalam). Sehabis wisuda aku mendapat sms dari Farid Muttakin (assistennya Ibu Shinta Nuriyah, yang juga IFP fellow dari angkatan sebelumku), dia menulis di sms nya “Selamat ya akhirnya mengikuti jejakku.” DEG… benarkah aku diterima?. Akhirnya walalupun acara wisuda belum selesai betul aku langsung naik sepeda motor ke Genteng, untuk ngecek pengumuman di internet. Maklum saat itu belum ada internet di rumahku, jadi kalau mau ke warnet harus menempuh perjalanan 12 km. Setelah aku check, alhamdulillah benar, ternyata namaku tercantum dalam daftar penerima beasiswa cohort IV IFP.

Alhamdulillah…..




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.