Darurat Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual


Kekerasan seksual merupakan kekerasan  yang paling sering dialami oleh anak-anak dan perempuan. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan Kekerasan Seksual pada anak dari tahun 2013 hingga 2014 naik hingga 100 persen.  Catatan tahunan Komnas Perempuan pun tak kalah fantastis mencatat, di antara kurun waktu tahun 2013 hingga tahun 2015 kasus kekerasan seksual setidaknya berjumlah rata-rata 298.224 per tahun.

Beberapa pihak menyakini bahwa jumlah sebenarnya jauh melebihi  dari jumlah seperti yang dicatat oleh KPAI ataupun Komnas Perempuan. Hal itu disebabkan karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan dengan berbagai alasan. Seperti malu, demi kehormatan keluarga dan lain sebagainya. Saya kira, ini merupakan tragedi bagi kaum perempuan khususnya di Indonesia.

Jangan Kerdilkan Korban

Ani sebut saja begitu namanya. Ia pernah diperkosa ayah tirinya. Lalu ketika ia mengadukan hal tersebut pada ibunya, ibunya justru menyalahkan dirinya. Ibunya mengatakan kesalahan ada pada anaknya yang memakai baju tak senonoh. Ada pula Dissa, bukan nama sebenarnya, yang diperkosa ayahnya. Keluarga melarang korban melapor ke pihak yang berwajib, mereka berdalih itu untuk menjaga kehormatan keluarga.

Ilustrasi kedua kasus di atas dalam konstruksi sosial kita itu sangat menyudutkan kaum perempuan. Fokus penyelesaian persoalan bukan pada pemulihan dan membantu korban. Sebaliknya, korban justru ditarik ke ranah konstruksi sosial yang patriarkhis dengan segala pernak-perniknya yang sangat eksploitatif. Pendek kata, korban ditempatkan sebagai penyebab dari tindakan kekerasan seksual.

Dalam pandangan saya, ada dua realitas yang tidak memihak dan cenderung meminggirkan korban kekerasan seksual saat ini. Pertama realitas bahwa masyarakat kita masih memiliki pandangan yang berbeda-beda dalam melihat kejahatan seksual. Banyak orang yang memandang kekerasan seksual bukan murni tindakan pidana, melainkan sekedar pelanggaran pranata sosial.  Sehingga mekanisme penyelesaiannya pun tergantung pada adat-istiadat setempat, bukan penegakan hukum.

Fatalnya, adat-istiadat di masyarakat kita masih sangat patriarikhis. Sehingga bukannya memihak pada korban, yang terjadi justru sebaliknya mengerdilkan korban. Pandangan patriarkhis yang paling sering dikenal di masyarakat adalah seringnya memandang perempuan sebagai pemicu terjadinya tindak kekerasan seksual tersebut. Misalnya, dengan alasan bahwa pakaian korbanlah yang memicu terjadinya tindakan kekerasan seksual. Nalar yang seperti ini menyesatkan.

Kedua adalah tatanan hukum kita yang juga masih sangat mengkerdilkan korban.  Dalam Kitap Undang-undang Hukum Pidana, kekerasan seksual seperti perkosaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap norma kesusilaan. Efeknya, kekerasan seksual dipandang sebagai persoalan moralitas.

Lebih runyam lagi, KUHP hanya memaknai kekerasan seksual sebatas perkosaan dan pencabulan saja. Padahal luka yang dialami seseorang karena tindakan orang lain pada tubuhnya tak sebatas yang didefinisikan dalam perkosaan dan pencabulan semata.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga juga hanya mengatur tindak kekerasan yang terjadi di wilayah domestik. Begitu pula dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak hanya sebatas mengatur jika korban tersebut adalah anak-anak.  Sedangkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang hanya dapat diberlakukan jika korban mengalami kejahatan perdagangan orang.

Produk undang-undang itu memunculkan problematika hukum yang cukup serius atas kekerasan seksual. Problematika tersebut adalah bagaimana jika tindak kekerasan itu terjadi di wilayah publik. Sebagai contoh, kekerasan seksual massal yang terjadi pada masa transisi politik 1998, kekerasan seksual politik bermuatan SARA saat tumbangnya rezim despotik di bawah kepemimpinan Soeharto.

Darurat Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual

Dalam pemikiran saya, konstruksi sosial di Indonesia memang masih sangat dominatif dan eklpoitatif terhadap kaum perempuan terlebih jika menyoal korban kekerasan seksual. Seperangkat aturan dan payung hukum kita pun belum dapat mengakomodir kebutuhan korban. Hukum kita masih belum berlaku adil terhadap korban, serta kurang komprehensif dalam memberikan rasa keadilan bagi korban. Saya kira, ini perkara yang sangat penting. Sebab, kekerasan seksual adalah bentuk kejahatan yang sangat khusus, menimpa langsung pada tubuh. Dan jenis penyembuhannya tidak dapat selesai secara medis. Ada efek traumatis, efek sosial yang sangat kompleks.

Melihat dan mencermati kelemahan undang-undang sebelumnya, Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan seksual sudah seharusnya disusun lebih komprehensif dan lebih sensitif terhadap korban. Rancangan undang-undang ini diharapkan mampu mengobati trauma yang dialami banyak korban kekerasan seksual. Sebagaimana kita ketahui, rasa sakit yang dialami korban kekerasan seksual bukan hanya terjadi pada saat kekerasan itu dialami, tetapi bisa seumur hidupnya. Akan lebih menyakitkan lagi jika orang-orang di sekitarnya tidak membela.

Pada awal 2016, berkat dorongan dan kerjasama berbagai pihak RUU Kekerasan Seksual telah masuk menjadi prolegnas. Tepat pada 31 Januari 2017, Badan legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah menyelesaikan harmonisasi RUU ini. Seluruh fraksi juga telah menyetujui RUU itu diparipurnakan untuk dijadikan RUU inisiatif DPR. Ini merupakan angin segar untuk kita semua.

Negara kita sedang darurat kekerasan seksual. Karena itu kita membutuhkan regulasi yang lebih berpihak pada korban, mampu mengobati luka, adil, dan tentu mencegah  berulangnya kekerasan.

Kita butuh tatanan yang memastikan bahwa setiap anak, perempuan dan siapapun dapat berelasi sosial secara aman. Masing-masing memiliki pemahaman untuk menghargai kebertubuhan masing-masing. Tidak ada lagi warga negara yang hidup dengan rasa ketakutan. Karenanya, saya berharap diskusi intensif dan konstruktif tentang RUU ini terus dilakukan. Dengan niat dapat mengobati luka para korban yang masih menganga, tidak terulang lagi kekerasan yang sama dan mencegah jatuhnya kembali korban. Dengan semangat demi terciptanya sebuah relasi yang menghargai keberadaan masing-masing.

https://bersatoe.com/2017/03/08/darurat-undang-undang-penghapusan-kekerasan-seksual/




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.