Ketika Mamaku Berjanji


Aku lahir di Shanghai, China, delapan belas tahun lalu. Bisa dikatakan aku di China hanya menumpang lahir saja, karena ketika aku berumur dua tahun, orang tuaku sudah mengajakku berpindah ke negara lain, mengikuti kontrak kerja baru papa.

Kulitku putih kemerah-merahan, rambutku pirang sebahu. Hidungku mancung. Bila pulang ke kampung halaman mamaku di daerah Banyuwangi, Jawa Timur, orang-orang selalu memanggilku “Bule”.

Dulu saat aku berusia delapan tahun, pertama kalinya Mama mengenalkanku ke kakek dan nenek, aku selalu marah di panggil Bule. Aku tidak habis pikir kenapa semua orang mulai anak-anak kecil seusiaku hingga orang tua tetangga nenek tidak pernah memanggil namaku, Angel, mereka lebih senang meneriakiku dengan nama “Bule.”

Mama selalu menjelaskan kepadaku karena Papaku dari Amerika, jadi secara fisik aku berbeda dengan anak-anak di Indonesia, makanya aku dipanggil bule. Tapi aku tidak pernah merasa berbeda.

Mamaku adalah perempuan yang luar biasa. Dia cantik, umurnya baru menginjak empat puluh empat tahun. Kulitnya coklat bersih, khas orang asia. Dia selalu mempunyai senyum untuk semua orang, bahkan dalam keadaan tersulitpun dia selalu tersenyum. Dia bukan hanya ibu yang baik, tapi juga pekerja keras. Pada hari-hari biasa dia bekerja full time sebagai penjaga toko di supermarket besar di daerah Waltham, Massachusetts. Dan bila ahir pekan, dia sering kali mengambil pekerjaan serabutan sebagai cleaning service di rumah-rumah tetangga maupun kenalannya.

Hari ini salju turun sangat lebat. Jalanan sudah seperti berganti warna menjadi putih. Atap-atap rumah tak lagi menyisakan warna selain warna salju putih. Tak banyak mobil yang lewat. Kalaupun ada mereka berjalan sangat pelan.

Tapi Mama tetep saja bersiap-siap meninggalkan rumah untuk bekerja membersihkan sebuah apartement yang baru ditinggal pindah penghuninya kemarin. Kenalan dekat Mama yang memberikan order via telfon semalam.

Aku sudah berulang kali mencegah Mama untuk pergi, tapi seperti biasa Mama selalu bilang kalau dia harus menepati janjinya, walaupun nyawa menjadi taruhan. Aku sudah berniat menemani Mama, tidak tega membiarkan dia menyetir mobil tua sendirian dalam cuaca yang buruk.

“No honey, kamu harus menyelesaikan papermu, besuk kan deadline untuk mengumpulkan paper, iyakan?”  itu penolakan halus mama.

Aku hanya mampu mengantar Mama hingga di garasi mobil.

“Honey, jangan lupa makan siang ya nanti, dan siapkan pula makanan buat Papa, semuanya sudah Mama masak, tingal menghangatkan saja.”

“Yup Mom,” jawabku sambil mengangkat tangan seperti prajurit yang siap menerima perintah komandan.

Mama tergelak sebentar sambil menepuk lembut pipiku. Senang sekali melihat perempuan kuat ini tersenyum.

“Hati-hati mom, give me call kalau membutuhkan bantuanku,” itu kata-kata terahir yang aku ucapkan sebelum mama menghidupkan mobilnya dan hilang ditikungan jalan.

***

Keuletan, kesabaran, dan semangat Mama yang luar biasa menjadikanku bertahan di rumah ini, walupun umumnya anak-anak Amerika akan memilih untuk tinggal berpisah dari keluarganya ketika mereka sudah lulus SMA.

Mama memang betul-betul cermin perempuan Indonesia yang sangat kuat memegang janjinya. Dan karena janji itu pula yang menjadikan Mama akhirnya menikah dengan Papa.

Mama pernah bercerita padaku tentang penjalanan hidupnya. Kala itu setelah lulus SMA, mama hijrah ke Jakarta dengan satu tujuan untuk bekerja. Orang tuanya yang sangat miskin, adek-adeknya yang banyak mengubur semua impiannya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Setelah mondar-mandir selama tiga bulan, dan menumpang tinggal di rumah buleknya, akhirnya mama mendapatkan pekerjaan sebagai receptionis di sebuah perusahaan kontraktor. Kecerdasaan dan keuletannya menjadikan mama dipromosikan menjadi sekretaris setelah satu setengah tahun bekerja di perusahaan tersebut.

Sebagai seorang sekretaris dia harus menemani sang bos bertemu dengan klien. Dan ini membuka pergaulan luas buat dia, namun dia saat itu tetap bertahan dengan kesendiriannya. Membiayai sekolah adek-adeknya lebih dia utamakan dari pada hanya menerima tawaran untuk menjalin hubungan pribadi dari rekan-rekan sekantor maupun dari klien-kliennya yang kebanyakan dari luar Indonesia.

Pada suatu waktu, dia berada pada titik dari semua perubahan hidupnya. Suatu hari saat Jakarta diguyur hujan deras, dan waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia pulang kerja dengan menumpang bus kota. Tapi di tengah-tengah jalan bus tersebut berhenti dan tidak bisa meneruskan perjalanan karena mesin tuanya kemasukan air.

Akhirnya dengan berjalan kaki dia menyusuri jalan-jalan yang gelap, padahal jarak ke kost masih sekitar 3 kilometer. Di sebuah kelokan jalan, ada tiga orang laki-laki yang mencegat langkahnya. Kejadiannya begitu cepat, tiga laki-laki tersebut telah menyeratnya ke sebuah gudang kosong, dan membekap mulutnya. Dia berusaha berontak sekuat tenaga, tapi tenaganya tidak ada apa-apanya dibanding tiga laki-laki itu. Saat itu dia sudah pasrah, tapi dalam hatinya terus berdoa agar ada yang “malaikat” yang menolongnya. Ternyata doa itu terkabul, ketika salah seorang laki-laki tersebut mulai menggerayai dadanya, tiba-tiba datang sosok tinggi, besar yang mendaratkan bokeman tangan ke laki-laki berandalan tersebut, dalam hitungan menit saja, ketiga orang tersebut telah melarikan diri.

“Orang hebat yang membantu mama itu ya Papamu itu Angel,” kata Mama.

Saat itu papaku adalah pemilik gudang kosong tersebut. Papa telah lebih dari enam belas tahun meninggalkan negaranya Amerika untuk bekerja di Indonesia, di sebuah perusahaan import-ekspor.

Setelah kejadian tersebut, alur cerita bisa ditebak. Mama dan Papa berteman dekat. Karena Mama merasa sangat berhutang budi ke Papa, disamping itu Mama sudah berjanji untuk tidak akan pernah mengecewakan orang yang telah menolongnya, akhirnya Mama menyetujui lamaran papa.

Sebenernya keluarga besar Mama di Banyuwangi tidak ada yang menyetujuinya.

“You can image Angel, siapa orang tua yang merelakan anak gadisnya yang baru berumur dua puluh satu tahun menikah dengan orang yang sudah berkepala lima, apalagi saat itu status papa adalah duda beranak tiga, bahkan anak papa yang pertama umurnya lebih tua dari pada Mama. Tapi janji Mama sudah tidak bisa dinegosiasikan lagi,” ucap Mama.

Bahkan Mama tetap bersikukuh melanjutkan acara perkawinan walaupun seminggu sebelumnya, Mama baru mengetahui bila papa telah memiliki anak dari seorang perempuan Indonesia yang selama ini menjadi pacarnya.

Tapi di satu sisi, status Mama di lingkungannya terangkat dengan menikah dengan Papa. Siapa sih orang yang tidak ingin menikah dengan bule?, bisa diajak ke luar negeri, apalagi bisa tinggal di Amerika, negara yang masih jadi impian banyak orang, pasti bagi banyak perempuan Indonesia, itu seperti mimpi jadi kenyataan. Tapi apakah menikah dengan bule selalu enak?

***

Kesetiaan Mama pada sebuah janji terkadang sangat tidak masuk akal bagiku. Suatu hari aku pernah mendapati Mama sedang menyiapkan barang-barang yang akan di bawa Papa untuk pergi ke Los Angeles. Pekerjaan Papa sering mengharuskannya berpergian ke negara bagian lain. Aku sangat kaget ketika melihat Mama memasukkan beberapa bungkus kondom dalam tas Papa. Aku tahu persis kegunaan kondom walaupun saat itu aku masuk duduk di grade sembilan, karena semester ini aku mengambil kelas tentang kesehatan dan reproduksi, jadi guru kelasku telah menerangkan kegunaan kondom.

“Ma, emang Mama mau ikut pergi?” tanyaku menyelidik
“Tidak, mama akan menemanimu di rumah,” jawab mama sambil terus membereskan barang-barang papa di koper.

“Kenapa Mama memasukkan Kondom di tas Papa?” tanyaku tidak mengerti.

Sambil tersenyum dan terus memasukkan semua document-dokument yang diperlukan Papa, Mama menjawab, “Mama tidak mau Papamu pulang membawa penyakit.”

Sumpah, bagiku ini ada gila. Mana ada perempuan yang membukakan pintu bagi suaminya untuk bersetubuh dengan perempuan lain.

Mama pergi untuk menyetrika Jas dan kemeja papa di ruangan depan storage. Rasa penasaran mendorongku untuk mengikuti langkah mama.

“Kenapa Mama mengijinkan Papa melakukan itu? Apakah Mama tidak cemburu? Apakah Mama tidak sayang Papa lagi?” tanyaku nyerocos

Mama menghentikan pekerjaannya, lalu memandangku lekat, lalu tersenyum.

“My Angel. It’s my commitment. Ketika menikah Mama sudah berjanji atas nama Tuhan untuk menjadi Isteri yang baik, jadi Mama harus tetap setia pada Papamu, apapun yang terjadi. Dan janji itu kadang tidak selalu sejajar dengan cinta.”

***

Ah Mama, perempuan yang terlalu baik menurutku. Aku mencoba membandingkan dengan Mama kawanku, yang memilih untuk meninggalkan rumahnya ketika mendapati suaminya pulang dalam keadaan mabuk, padahal itu adalah kejadian pertama.

Papaku sudah tidak terhitung sudah berapa kali pulang dalam keadaan teler berat, dan tubuhnya bukan hanya bau asap rokok tapi juga bau parfum yang menyengat. Aku yang membantu Papa masuk rumah saja seperti hendak muntah mencium bau parfum murahan yang melekat di tubuh papa, entah parfum perempuan mana yang menempel ini. Tapi mama tetap dengan sabar membawa Papa ke kamar, mengelap badan Papa dengan handuk yang sudah dibasahi oleh air hangat, mengganti baju Papa, sebelum akhirnya menyelimuti Papa dengan selimut.

Kini ketika Papa telah memasuki kepala delapan, dia sudah tidak lagi bisa bekerja. Semua tabungan telah menipis untuk biaya pengobatan Papa yang mulai terserang banyak penyakit. Memang Papa masih memiliki asuransi kesehatan, tapi tidak semua bisa ditutupi oleh asuransi.

Nyaris kegiatan Papa hanya di depan TV dan membaca buku. Tapi herannya, dalam kondisi seperti itu Papa masih tetap tidak merubah kebiasaannya marah-marah ke Mama bila Mama tidak segera melaksanakan permintaanya.

Mama? Dia tetep seperti biasa, sabar dan menjalani semuanya. Sepertinya waktu 24 jam kurang baginya. Dia harus bekerja, harus mengurus Papa, memasak dan menerima makian dari Papa. Aku hampir bisa bertaruh tidak ada perempuan Amerika di sekitar rumahku yang memiliki kekuatan baja seperti Mama.

“Ah Mama, kamu telah mengajariku untuk tidak pernah membuat janji, apalagi janji dalam perkawinan” gumamku dalam hati.

Hawaii, Mei 2009

Note: Untuk seorang kawan, proud of you.

It has been published in Oase, Kompas Online, 30 Mei 2009




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.