Menyoal Kelembagaan BPOM


Keberadaan dan peredaran makanan serta obat-obatan yang membahayakan kesehatan masyarakat hingga saat ini kerap kali kita temui. Terakhir, di pertengahan tahun 2016  kita disuguhi penemuan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tentang peredaran vaksin palsu di 9 provinsi di Indonesia. BPOM menyebutkan bahwa, kesembilan propinsi itu diantaranya adalah Pekanbaru (Riau), Palembang (Sumsel), Bandar Lampung (Lampung), Serang (Banten), DKI Jakarta, Bandung (Jabar), Surabaya (Jatim), Pangkal Pinang (Babel), dan Batam. Dari kesembilan provinsi tersebut, ada 37 fasilitas pelayanan kesehatan mendapat vaksin dari sumber tidak resmi dengan sampel jumlah sebanyak 39 jenis. Kondisi ini tentu membuat kita semua sangat prihatin.

Di sisi lain, kita juga sering menjumpai makanan untuk anak yang sangat berbahaya. Diantaranya seperti saus dengan zat pewarna pakaian, makanan dengan bahan pengawet untuk mayat, dan jajanan lainnya yang mengancam kesehatan bahkan nyawa anak-anak kita. Beberapa waktu yang lalu, kita juga dihebohkan dengan kabar ditemukannya jenis permen anak yang mengandung narkoba. Bahkan, serigkali juga kita temui makanan atau obat yang sudah kadaluarsa namun masih diperjual belikan secara bebas tanpa ada penanganan yang intensif, sistematis, serta integratif dari pemangku kebijakan maupun secara kelembagaan.

Laporan Badan Pemeriksa Keuangan atas kinerja BPOM tahun 2013—2015  menyimpulkan, fungsi pengawasan mereka belum diterapkan secara efektif dan efisien. Laporan tahun 2015 menyebut, keterbatasan wewenang dari BPOM karena tidak ada regulasi yang mengatur pembagian tugas BPOM dan pemerintah daerah sebagai pihak yang menerbitkan izin usaha di daerah (Lubang di Keamanan Pangan Kita. Kompas, Senin, 8 Mei 2017).

Dengan diterbitkannya Inpres No.3 Tahun 2017 tentang Peningkatan Efektifitas Pengawasan Obat dan Makanan pada 10 Maret 2017 oleh Presiden Joko Widodo tentu menjadi angin segar untuk menutup celah kelemahan kelembagaan BPOM yang selama ini terjadi. Inpres tersebut diharapkan mampu menjawab persoalan yang melilit kelembagaan yang bertugas untuk mengawasi peredaran obat dan makanan, serta menjadi langkah awal untuk menata secara kelembagaan supaya lebih efektif dan efisien.

Saya kira, peranan BPOM menjadi semakin vital di tengah persoalan ketersediaan pangan atau ketahanan pangan yang sehat di negeri ini. Yaitu demi keberlangsungan pemenuhan gizi bagi generasi Indonesia yang kuat dan sehat menghadapi tantangan globalisasi.

 

Tinjauan Kebijakan, Inpres No. 3 Tahun 2017

Berdasarkan Pasal 67 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, BPOM melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Sedangkan fungsi BPOM berdasarkan Pasal 68 Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 diantaranya adalah, pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan Makanan. Pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang pengawasan Obat dan Makanan. Koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas BPOM. Pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang pengawasan Obat dan Makanan. Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tata laksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, persandian, perlengkapan dan rumah tangga.

Sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk meningkatkan efektivitas dan penguatan pengawasan makanan dan obat, pemerintahan Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2017. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2017 tersebut berisi tentang Peningkatan Efektifitas Pengawasan Obat dan Makanan. Instruksi ini dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 10 Maret 2017. Inpres ini bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan penguatan pengawasan obat dan makanan di mana BPOM bekerja sama dengan 9 Kementerian, Gubernur, Bupati dan Walikota di setiap wilayah pemerintahan. Sembilan Kementerian itu diantaranya adalah; Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Perdagangan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan yang terakhir adalah Menteri Komunikasi dan Informatika.

Dalam Inpres tersebut, ada 6 instruksi presiden kepada Kepala BPOM. Pertama, menyusun dan menyempurnakan regulasi terkait pengawasan obat dan makanan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Kedua, melakukan sinergi dalam menyusun dan menyempurnakan tata kelola dan bisnis proses pengawasan obat dan makanan. Ketiga, mengembangkan sistem pengawasan obat dan  makanan. Keempat, menyusun pedoman untuk peningkatan efektivitas pengawasan obat dan makanan. Kelima, melakukan pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan obat dan makanan. Yang terakhir adalah, mengoordinasikan pelaksanaan pengawasan obat dan makanan dengan instansi terkait. Dengan hadirnya Inpres No. 3 Tahun 2017 tersebut, BPOM seharusnya bisa semakin meningkatkan kinerjanya dalam mengawasi peredaran obat dan makanan serta mampu memproteksi masyarakat dari bahaya yang tidak diinginkan. Yaitu tersedianya pangan, dan produk  obat yang sehat dan aman.

 

Penguatan Kelembagaan BPOM

Penguatan BPOM adalah kebutuhan yang sangat vital dalam penataan kelembagaan. Kita membutuhkan

lembaga pengawas obat dan makanan yang efektif dan efisien. Dengan wilayah kerja yang sangat luas di seluruh Indonesia, BPOM sebaiknya memiliki unit pelaksana teknis di setiap kabupaten/kota dan tidak semata di tingkat provinsi.

Inpres No. 3 Tahun 2017 merupakan titik masuk untuk menata kelembagaan BPOM dengan melibatkan multi stakeholder dari semua lembaga pemerintahan yang terkait. Sinergisitas antar kelembagaan menjadi kunci utama dalam menata dan memperkuat kelembagaan sehingga antar lembaga tidak tumpang tindih dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Wacana dan isu yang berkembang mengenai BPOM perlu kita cermati kembali.Saat ini  satu-satunya payung hukum BPOM hanyalah UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. BPOM belum mempunyai UU sendiri. Artinya, BPOM tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan, penangkapan, sanksi dan sejenisnya. Sehingga, posisi lembaga tersebut seperti mandul karena hanya mengawasi dan memeriksa. Sedangkan urusan pidana tetap di kepolisian. Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara lain seperti Singapura dan Amerika yang mempunyai hak seperti penyidikan, penangkapan dan pemberian sanksi.

Dengan demikian, UU penguatan fungsi dan peran BPOM memang menjadi kebutuhan. UU tentang penguatan BPOM bisa menjadi jawaban atas lemahnya BPOM secara kelembagaan. UU ini bisa menjadi payung hukum bagi BPOM dalam melaksanakan kinerjanya mengingat persoalan obat dan makanan adalah persoalan yang krusial. Kebutuhan makanan dan obat merupakan kebutuhan dasar masyarakat yang harus dipenuhi dan diproteksi melalui serangkaian UU. Tujuan utamanya adalah agar masyarakat merasa terjamin dalam mengkonsumsi obat dan makanan. Kita perlu memastikan bahwa kita, generasi mendatang, selamat dari ancaman zat-zat yang bisa mengancam kesehatan tubuh.




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.