Ibuku, Ibu Banyak Orang


1497601_731361083543087_465757567_nTiba-tiba pagi ini saya teringat tentang kelas Women and Religion  yang saya ambil waktu S2 di University of Hawaii at Manoa. Dalam salah satu session di kelas yang topic hari itu adalah “Women and Islam” Profesor Nancy L. Kleiber menyuruhku untuk berbicara soal women and Islam in Indonesia.

Satu hal yang saya omongkan dan itu membuat semua teman kelas saya saat itu melongo adalah bahwa ibu saya hafal Al-Quran (Khafidzoh). Entahlah mungkin untuk sebagian orang saya norak, tapi saya mengucapkan itu dengan bangga, ya.. bangga sekali. Walaupun Ibu menikah pada umur 13 th, dan hanya tamat SD, tapi ibu tidak pernah kendor semangatnya untuk belajar. Buktinya beliau mulai menghafalkan Quran ketika sudah punya 3 orang anak, dan ternyata pula beliau hanya butuh waktu 3 tahun untuk menyelesaikannya. Teman-teman kelas saya sangat kaget bahwa ada orang yang mau dan bisa menghafalkan al-Quran. Saya jelaskan, Ibu saya bukan hanya menghafal Quran, tapi ibuku juga bisa Bahasa Arab pasif, jadi at least beliau mengerti arti kalimat-kalimat yang ada di al-Quran.

Ibu saya juga tidak pernah malu untuk belajar. Sering kali Ibu tanya ke saya, ke suami saya maupun ke adek-adek tentang banyak hal. Beliau juga rajin pergi ke toko buku untuk membeli buku yang akan menambah wawasannya. Beliau juga tidak malu belajar kitab ke Abah sebelum beliau mengajarkan ke santri-santri, walaupun saat itu ada anak-anaknya. Malah kadang kala Ibu minta diajari anak saya cara mengoperasikan komputer *at least membuka dan mematikan komputer*.

Ada kejadian lucu, saat Ibu Shinta Nuriyyah (Istri dari almarhum Gus Dur) datang ke rumah dan saat itu Ibu saya memberikan sambutan selaku pengasuh dan tuan rumah. Mendengar Ibu saya sambutan, Ibu Shinta berpikir kalau Ibu saya itu sarjana. Ibu Shinta begitu kaget ketika saya bilang ibu hanya lulusan MI dari almamater yang sama dengan Ibu Shinta.

Ibu saya juga sangat klop dengan anak-anaknya, terutama untuk urusan baju dan shopping. Maklum saya dan Ibu hanya terpaut 15 tahun, jadi kami lebih sering seperti kakak-adik. Terlebih 4 dari 5 anak Ibu adalah perempuan semua.

Saya dan adek-adek juga sudah sejak kecil diberi pemahaman kalau ibu ini bukan hanya ibu kami saja. Tapi ibu seluruh santri, ibu seluruh alumni dan ibu bagi masyarakat. Tentunya kami anak-anak ibu sudah harus siap berbagi ibu dengan yang lainnya. Beberapa waktu lalu, Ibu saya sempat masuk RS untuk pengangkatan rahim beliau. Saat itu lah kami anak-anaknya sangat tersadar bahwa Ibu kami dicintai banyak orang. Tamu yang datang tidak berhenti-henti menjenguk. Walaupun dalam kondisi lemah, ibu berusaha menerima semua tamu dengan baik, “Kasian mereka sudah datang jauh-jauh masak tidak diterima dengan baik,” itu yang selalu disampaikan Ibu.

Ibu saya orang yang memiliki stamina luar biasa. Ibu biasanya bangun jam 2 tengah malam, untuk melakukan sholat tahajud. Habis subuh Ibu akan mengajar mengaji Quran santri-santri. Jam 6.30, ibu sholat dhuha. Setelah itu Ibu akan menerima setoran santri yang menghafalkan al-Quran. Habis itu biasanya Ibu sudah akan banyak jadwal di luar rumah, ya pengajian, sema’an al-Quran, mengurusi TPQ seluruh Banyuwangi dll. Nyaris kegiatan ibu baru berhenti sekitar jam 10 malam, ketika beliau berangkat istirahat.

Terkadang saya berpikir, bagaimana bisa ibu memikirkan banyak hal dalam satu waktu?? saya sebagai perempuan paham bila perempuan itu multitasking, tapi kekuatan multitasking saya masih jauh dibandingkan Ibu. Ibu itu memikirkan ribuan santri mulai mereka tidur sampe tidur lagi. Apakah santri mendapatkan asupan gizi yang pas? bagaimana kebersihan santri? bagaimana suply air bersih? sekolahnya santri bagaimana? ujiannya hasilnya bagaimana?? kenapa santri A or B ini seringkali melanggar peraturan? bagaimana santri-santri dari keluarga miskin ini bisa tetap sekolah? apakah kamar-kamar bocor?? bagaimana persiapan santri baru ? apakah pengurus pesantren menjalankan tugas-tugasnya dengan baik? dan sebagainya. Ini masih yang untuk santri, balum lagi soal TPQ seluruh Banyuwangi, belum lagi bila ada kegiatan besar di pesantren, seperti khataman Ihya’ Ulumuddin yang biasanya waktunya seminggu full, hampir seluruh konseptornya Ibu. Itupun ibu masih bisa memikirkan bagaimana mengajinya cucu-cucunya. Luar biasa.  Dan hal ini yang sampe sekarang kami anak-anaknya masih harus berusaha keras belajar dari beliau.

Setelah keluar kelas saya langsung sms ke Ibu, “Ibu, saya bangga dengan Ibu, saya sangat sayang dengan Ibu.” Saya tahu tidak ada yang lebih menyenangkan hati seorang Ibu, selain kasih sayang anak-anaknya.Yang jelas, Ibu adalah sumber inspirasi yang tidak pernah padam bagi saya. Dan ketakutan terbesar saya adalah mengecewakan ibu.




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.