Belajar Toleransi dari Petak 8


Langit jingga. Saya, suami, salah satu tim dan sekelompok off road jeep berkumpul. Sore itu kami akan ke petak 8. Saat itu hari kamis, 06 Januari 2016.  Kami akan menghadiri acara Maulid Nabi SAW dan pembukaan TPQ di sana.

Petak 8 adalah sebuah daerah dalam hutan, termasuk wilayah dusun Sumber Manggis, desa Barurejo, kecamatan Siliragung, Kabupaten Banyuwangi. Ini adalah pengalaman kali pertama saya ke sana. Sejak kecil saya sudah mendengar dan tahu keberadaan tempat ini. Tetapi belum pernah mendatangi. Letak dusun ini hanya 5 KM dari desa saya, bersebelahan. Namun menuju kesana, medannya sangat berat. Karenanya perjalanan hanya dapat ditempuh dengan jeep. Ada tujuh mobil jeep dalam rombongan kami saat itu.

Untuk mencapai petak 8, kami harus menyeberangi tiga sungai  tanpa jembatan. Harus membuat jalan di balik pepohonan jati. Beberapa kali kami dihadang pohon-pohon ukuran sedang. Mau tidak mau harus kami lewati melalui tengah-tengah mobil agar pohon tetap tidak tumbang. Roda mobil sering kali harus berputar beberapa kali , tanpa bisa maju ketika berada di jalan yang rusak parah. Dari jalan 5 km tersebut, 2 KM berupa jalan kampung yang rusak, dan 3 km adalah jalan di tengah-tengah hutan jati. Dari total perjalanan 5 km, hanya 2 km saja yang saya kenal. Selebihnya, saya benar-benar seperti  kehilangan arah.

pemberian bantuan-petak 8

Memberi Bantuan pada Pura dan TPQ

Rombongan mengatakan meski sering ke Petak 8, tapi mereka masih tetap butuh penunjuk jalan. Mereka pernah tersesat di tengah hutan karena tidak memakai penunjuk jalan. Sampai harus berhenti di tengah hutan.  Ketika itu mereka harus terus menyalakan lampu mobil agar bantuan datang. “Banyak jalan menuju sini. Karena memang ya jalannya dibalik pohon-pohon, jadi sulit untuk menghafalkan. Bisa jadi berangkat dan pulang berbeda jalan. Bahkan tiga kali ke sini bisa lewat jalan yang selalu berbeda,”  kata salah satu pengantar kami. Alhamdulillah setelah melewati hutan selama 30 menit, kami sampai di Petak 8.

Ada pemandangan yang begitu menyejukkan hati. Sesampai di sana, kami disambut bapak-bapak yang memakai topi iket orang-orang hindu, padahal jelas-jelas ini acara orang islam. Bahkan mereka bukan hanya menjadi penerima tamu, tetapi juga mengikuti acara hingga selesai. Dusun ini memang 70% beragama islam, sedangkan 30% beragama hindu. Perbedaan keyakinan itu tidak membuat mereka membeda-bedakan perlakuan, tetapi malah menyatukan. Hal ini juga sangat kentara, kental terlihat, saat tim nihayah mengatakan akan memberi sumbangan pada TPQ, tokoh masyarakat mengatakan bahwa anak-anak yang belajar di pura juga harus dibantu. Kami menyetujui ide itu dengan penuh kekaguman. Kamipun memberi bantuan pada kedua lembaga pendidikan anak-anak itu. “Di sini memang guyub begini Bu, kalau ada acara orang Hindu ya kita juga datang. Ngapain bu mau berantem, lawong kita ini hidup cuman sekali, ya harus rukun dengan tetangga dan saudara,” saya kagum dengan kata-kata seorang Ibu yang menemani saya sholat.

Bayangkan ketika di banyak tempat bahkan di medsos praktik-praktik intoleransi berkembang , di desa yang berada di tengah hutan ini, mereka memberikan contoh keguyuban yang luar biasa. Nilai-nilai Pancasila terpancar betul di Petak 8.

Di Petak 8 ini, saya seperti melihat Indonesia yang sesungguhnya, saya merasakan betul pengejawantahan dari ajaran-ajaran sang guru Gus Dur. Saya yakin betul sebenarnya masih banyak tempat seperti Petak 8 ini di Indonesia, dan ajaran-ajaran seperti inilah yang terus harus kita sebarkan dan kita wariskan ke anak cucu kita.

06 jan 16-sambutan di petak 8

Memberi Sambutan di depan warga petak 8

Saat tiba waktu saya sambutan, saya menyampaikan dua hal. Pertama adalah permintaan maaf sebesar-besarnya. Saya malu sekali, karena Petak 8 ini jaraknya hanya sekitar 5km dari rumah saya, tapi baru kali ini saya datang. Sebagai anggota DPR yang sudah berkeliling Indonesia bahkan dunia, saya harus merunduk meminta maaf kepada masyarakat petak 8 yang baru kali ini saya datangi.  Datang juga dalam acara tersebut Bapak Camat, Bapak Kepala Desa dan juga KH Muslimin, tokoh Kyai di desa tersebut.

Hal kedua yang saya sampaikan kepada masyarakat ketika sambutan di Petak 8 yakni kekaguman saya pada kerukunan masyarakat. Praktik keberagaman dan toleransi yang mereka tunjukan menjadi pelajaran berharga. Praktik-praktik seperti ini sangat penting untuk direproduksi, untuk dikemas, disebarkan menjadi pengetahuan. Kearifan-kearifan lokal ini merupakan kekayaan yang paling berharga dalam menjaga kesatuan kita sebagai bangsa.

Masyarakat Petak 8 ini juga memiliki pemahaman luar biasa untuk menjaga lingkungan. Mereka sadar bahwa tanah yang mereka tempati adalah milik perhutani. Ladang-ladang yang mereka kerjakan juga kerjasama dengan perhutani. Oleh sebab itu mereka ingin terus menjaga hutan yang menjadi rumah dan sumber kehidupan mereka. Mereka hidup dari hutan dan juga menghidupi “Saya lebih memilih minta dibantu soal listrik daripada minta akses jalan diperbaiki. Kalau jalan bagus, kami sangat takut banyak orang akan ke sini. Dan saya yakin kalau orang luar ke sini mereka pasti akan mencari sesuatu, bukan memberi atau menjaga. Kalau hutan rusak, kami hanya akan mendapat sampah dan kehancurannya. Tapi kalau listrik akan sangat berguna bagi kami.” Saya terhenyak dengan pernyataan ini. Ini benar-benar pengetahuan yang harus dipelajari dan diamalkan banyak orang. Sebuah pilihan yang sangat bijak. Dan pulang pun Saya masih mendapat oleh-oleh dua kardus pisang. Alhamdulillah.

Saya berjanji pada diri saya untuk kembali ke Petak 8 lagi dengan melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang bisa bermanfaat untuk masyarakat.

Sungguh sebuah perjalanan menyenangkan dan sangat berharga. Terima kasih kawan-kawan rombongan off road dan masyarakat petak 8.




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.