Bagaimana Rasanya dibully?


1509255_624966530970352_2345008230773040590_n

 

“Bagaimana rasanya dibully ?” tanya seorang kawan. Hemmm kalau soal dibully saya yakin sejak kecil tiap orang punya pengalaman dibully, walaupun kadarnya berbeda-beda. Sayapun begitu, sering dibully karena gemuk, ketawa ngakak, karena keras kepala dan sebagainya hahhaha. Tapi Saya yakin maksud kawan ini adalah dibully sejak menjadi politisi.
Well, saya ingin katakan bahwa pelajaran pertama menjadi politisi itu bukan tentang legislasi, pengawasan ataupun anggaran, tapi tentang bagaimana menguatkan diri dan bagaimana menyikapi bully dari masyarakat. Lha gimana tidak, belum juga dilantik bully sudah merajalela, yang katanya nyuri suara lah, yang katanya hanya bermodal nama besar keluarga saja lah, tidak berkualitas lah, dan sebagainya.
Secara personal, menjadi politisi bagi saya adalah memberikan pelajaran tentang arti sabar dan arti diam. Ya harus diam saja ketika semua orang membully 560 orang atas kesalahan satu orang saja. Ya harus menahan sabar luar biasa juga ketika segelintir orang dari kami yang melakukan korupsi dan kami yang ratusan lainnya kena getahnya. Ya tidak bisa melakukan apa juga ketika hanya segelintir pasangan dari kami anggota DPR yang jalan-jalan dan memakai tas-tas branded (padahal bisa jadi mereka memang sudah kaya sebelum jadi dewan hehhehe), walaupun kenyataannya ratusan pasangan dari anggota dewan lainnya tidak melakukan, bahkan suami saya setia hanya naik kereta ekonomi/bisnis PP Semarang-Banyuwangi setiap minggu plus hingga sekarang tinggal di penginapan kampus UIN Walisongo yang sekamar tiga orang, dia juga kemana-mana naik motor hehhee, bukan pencitraan, tapi memang suami saya punya itu.
Suami, orang tua dan adek-adek saya mungkin kondisinya sudah lebih ready dengan bully, karena mereka tahu bagaimana kehidupan saya tiap harinya, tapi bagaimana dengan anak-anak kami. Berapa ratus jumlah anak-anak anggota Dewan yang tiap hari harus membaca bully yang ditujukan kepada orang tuanya??. Kalau yang masih kecil-kecil tentu mereka belum memahami betul apa itu bully, kalau yang sudah besar tentu bisa diajak ngobrol oleh orang tuanya dan lebih bisa mengerti, yang mengkhawatirkan itu yang usia nanggung. Anak saya yang kedua (12th) sekolah di SD Swasta yang tempatnya dari ibu kota kabupaten 50 km, mainannya dengan teman-temannya mandi di sungai dan kemah-kemahan, itupun tidak bisa lepas dari kontaminasi meme-meme bully ke mamanya. Pernah suatu saat dia tanya “Mama, itu yang ketangkap KPK teman mama ya?? emang jadi DPR itu semuanya korupsi ya?? tuh di meme ada yang mau jual gedung DPR sama semua penghuninya yang suka korupsi.” Bayangkan apa yang harus saya katakan ??. Mendengar pertanyaan anak saya itu, badan saya gemetar hebat, bukan karena saya takut karena saya melakukan korupsi, tapi tidak bisa membayangkan anak saya harus turut memikirkan hal itu, tidak membayangkan bagaimana anak saya harus menjawab pertanyaan dari teman-temannya.
Seringkali pengen teriakkkkkkkk… “Jangan racuni anak-anak kami.” tapi apalah daya tetap tidak bisa. Menjadi DPR itu adalah kerja kolektif, satu yang melakukan kesalahan, lainnya kena getahnya. Tapi ratusan yang bekerja dengan sunguhh-sungguh tetap tidak bisa mewakili segelintir yang nakal-nakal hahhha. Sama seperti meme tentang dua kotak A dan B. Kotak A bertulisnya Bapak selalu benar, dan Kotak B bertuliskan Jika Bapak salah lihat kotak A. Jadi DPR juga begitu: kotak A bertuliskan DPR harus sabar dan diam; Kotak B jika DPR dibully lihat kotak A. hahhahaha.
Anyway, ini tulisan curcol sambil nunggu macet di jalan. Maaf bila dianggap membela diri, hanya sekedar bercerita sisi lain.
Have a productive day everyone.




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.