Putus Rantai Kekerasan Terhadap Perempuan


Fakta Perempuan dan Kekerasan

Ranah kekerasan seksual kebanyakan hanya dipandang sebagai kejahatan asusila atau moralitas semata. Padahal, jumlah korban terus meningkat secara signifikan setiap tahunnya. Melalui RUU PKS, saatnya memberikan pandangan baru bahwa kekerasan seksual adalah kejahatan kemanusiaan yang harus segera mendapatkan perhatian khusus.

Awal April lalu, masyarakat dikejutkan dengan berita pemerkosaan dari tanah Bengkulu. Media begitu ramai memberitakan sosok gadis remaja berusia 14 tahun yang kehilangan nyawanya dalam pemerkosaan bergilir yang dilakukan oleh 14 pelaku di kebun karet. Y yang kala itu sedang dalam perjalanan sepulang sekolah, dicegat dan disekap. Para pelaku yang melihat Y tengah berjalan seorang diri melewati kebun karet langsung memukuli kepala Y, mengikat kaki dan tangannya, mencekik leher dan kemudian mencabulinya secara bergiliran.

Berselang dua hari setelah kejadian, mayat Y ditemukan oleh seorang warga dalam kondisi telanjang di dalam jurang sedalam 5 meter. Tubuh Y saat ditemukan dalam posisi menelungkup dengan tangan dan kaki terikat tali dari atas sampai ke bawah paha yang ditutupi dengan daun pakis. Saat ditemukan, terdapat bekas lebam pukulan pada wajah dan kekerasan pada kemaluan Y. Berdasarkan hasil visum, kepolisian menyatakan bahwa Y telah tewas saat pemerkosaan berlangsung. Bahkan, diduga ada pelaku yang mengulangi perbuatannya hingga 2 dan 3 kali.

Kasus ini membuat masyarakat marah. Bagaimana bisa seorang gadis belia kehilangan nyawanya dengan begitu mengenaskan. Hal ini ditambah dengan fakta bahwa 7 orang dari 14 pelaku adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun. Namun, belum redup kasus pemerkosaan Y, muncul kasus pemerkosaan yang tak kalah sadisnya. Pada pertengahan Mei 2016, seorang remaja perempuan di Tangerang berinisal E ditemukan tewas di dalam kamar kos dalam keadaan telanjang dengan gagang cangkul menancap di kemaluannya.

Peristiwa ini berawal ketika E menolak ajakan berhubungan badan yang diminta oleh A kekasihnya. Penolakan tersebut kemudian memunculkan kekesalan yang akhirnya pembunuhan. A yang saat itu sedang kesal bertemu dengan dua orang lainnya yang juga menyukai E namun ditolak perasaannya. Mendengar cerita A, kedua orang lainnya sepakat untuk memperkosa secara bergilir E dan membunuhnya. Keesokan harinya, mayat E ditemukan penuh luka dengan gagang pacul tertanam di kemaluannya. Polisi kemudian menetapkan 3 orang tersangka, dengan 1 orang diantaranya adalah anak di bawah usia 18 tahun.

Dua kasus tersebut menjadi sorotan tidak hanya media nasional, tetapi juga internasional. Maraknya kasus pemerkosaan yang terjadi dimana melibatkan anak-anak di bawah usia 18 tahun tentu membuat siapapun miris melihatnya. Ada perasaan sedih ketika mengetahui nasib tragis para korban kekerasan seksual, perasaan marah ketika mengetahui betapa tidak manusiawinya para pelaku, sekaligus juga miris mengetahui bagaimana seorang anak sanggup melakukan kejahatan yang demikian tak terpikir oleh akal manusia.

Angka Kekerasan Terhadap Perempuan Terus Meningkat

Setiap dua jam, tiga perempuan mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 50%nya dilakukan oleh orang-orang terdekat atau diketahui secara personal oleh korban. Mau tunggu berapa lama lagi kejahatan ini untuk terus berlangsung?

Berikut adalah data-data yang diperoleh dari Komnas Perempuan dalam Catatan Tahunan 2016. Pada tahun 2015 tercatat jumlah kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) meningkat sebanyak 9% dibanding tahun 2014, yakni sebesar 321.752 kasus. Jumlah tersebut didapatkan berdasarkan akumulasi dari ranah KDRT/RP, ranah komunitas dan ranah rumah tangg atau relasi nasional.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Relasi Personal (RP) yang terjadi pada dalam Catatan Tahunan (catahu) 2016 Komnas Perempuan ialah sebanyak 11.207 kasus atau sebesar 69%. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan Catahu 2015. Dalam data tersebut, dapat terlihat bahwa kekerasan fisik merupakan yang terbanyak terjadi dengan jumlah kasus sebanyak 4.304 atau sebesar 38%. Perempuan, khususnya dalam ranah rumah tangga masih sering mendapatkan perlakuan kasar yang mengakibatkan luka secara fisik yang dilakukan oleh suami.

Ranah Rumah Tangga atau Relasi Personal

Kekerasan dalam ranah Rumah Tangga atau Relasi Personal (RP) merupakan kejahatan yang berada dalam ranah domestik keluarga dan relasi (hubungan) secara personal. Dalam data tersebut, Kekerasan Terhadap Istri (KTI) menempati urutan pertama dengan jumlah kasus  sebanyak 6.725 atau 60% dari jumlah presentase. Hal ini menunjukkan bahwa rumah bukan tempat yang aman bagi perempuan. Ketimpangan relasi gender antara suami dan istri masih cukup besar yang antara lain diindikasikan dengan posisi subordinat istri dalam institusi perkawinan.

hot-issue-perempuan-dan-kekerasan-3

marieclaire-indonesia-hot-issue-prempuandankekerasan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Relasi Personal (RP) yang terjadi pada dalam Catatan Tahunan (catahu) 2016 Komnas Perempuan ialah sebanyak 11.207 kasus atau sebesar 69%. Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan Catahu 2015. Dalam data tersebut, dapat terlihat bahwa kekerasan fisik merupakan yang terbanyak terjadi dengan jumlah kasus sebanyak 4.304 atau sebesar 38%. Perempuan, khususnya dalam ranah rumah tangga masih sering mendapatkan perlakuan kasar yang mengakibatkan luka secara fisik yang dilakukan oleh suami.

hot-issue-perempuan-dan-kekerasan-6

Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah komunitas memiliki jumlah cukup banyak, yakni 5.002 kasus atau sebesar 31%. Di ranah komunitas bahkan tercatat bahwa kekerasan tertinggi dari sisi korban adalah yang berstatus pelajar (1.518). Kekerasan ini bisa terjadi di sekolah, di angkutan umum dan di tempat-tempat publik lainnya.

hot-issue-perempuan-dan-kekerasan-7

Peningkatan jumlah korban kekerasan seksual memang tak bisa dhindari. Namun, bukan berarti tidak dapat diminimalisir. Anda dapat berkontribusi untuk meminimalkan jumlahnya dengan ikut mendukung gerakan yang digagas oleh Lentera Sintas Indonesia melalui akun petisi di https://www.change.org/p/dpr-ri-sahkan-uu-penghapusan-kekerasan-seksual-mulaibicara. Petisi tersebut masih membutuhkan dukungan Anda untuk dapat mencapai 20.000 dukungan.

Dukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

RUU PKS merupakan RUU yang disusun secara komprehensif yang dilandasi dengan hasil pemantauan Komnas Perempuan selama 13 tahun terakhir. RUU PKS memiliki tujuan untuk pembaharuan hukum, terutama pada aspek pencegahan, penanganan, perlindungan, pemulihan serta mengoptimalkan akses kehadiran korban tindak pidana kekerasan seksual melalui solusi pidana. “Kekerasan seksual ini terus-menerus meningkat. Penelitian yang dilakukan Komnas Perempuan bahkan menyebutkan bahwa terdapat 15 bentuk kekerasan seksual yang terjadi dalam faktanya. Namun, yang tertera di dalam UU itu cuma ada 3, yaitu pemerkosaan, pencabulan, dan eksploitasi sosial. Kemudian, kami memutuskan bahwa UU tersebut harus direvisi, oleh karenanya kami mengajukan RUU PKS ini” ucap Irawati Harsono, Chair Of Sub Commision for Policy and Law Form Komnas Perempuan Indonesia.

Dari 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan oleh Komnas Perempuan kemudian dipilih 9 kategori yang dirasa sesuai dan dapat diproses melalui pidana. RUU PKS merupakan ketentuan khusus (lex specialist), karena RUU PKS mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini didasarkan pada pengaturan dalam KUHP tentang kekerasan seksual sangat terbatas. Secara garis besar, bentuk kekerasan seksual hanya perkosaan dan pencabulan. Padahal, yang terjadi untuk ranah kekerasan seksual bukan hanya pada kedua bentuk itu saja. Oleh karena itulah, Komnas Perempuan menambahkan beberapa bentuk kekerasan seksual lain yang telah didiskusikan dengan para pakar.

Dari 15 jenis kekerasan seksual yang ditemukan oleh Komnas Perempuan kemudian dipilih 9 kategori yang dirasa sesuai dan dapat diproses melalui pidana. RUU PKS merupakan ketentuan khusus (lex specialist), karena RUU PKS mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal ini didasarkan pada pengaturan dalam KUHP tentang kekerasan seksual sangat terbatas. Secara garis besar, bentuk kekerasan seksual hanya perkosaan dan pencabulan. Padahal, yang terjadi untuk ranah kekerasan seksual bukan hanya pada kedua bentuk itu saja. Oleh karena itulah, Komnas Perempuan menambahkan beberapa bentuk kekerasan seksual lain yang telah didiskusikan dengan para pakar.

10

Sophia Hage : Ini Awal dari Perjuangan

Isu-isu mengenai perempuan dan kekerasan seksual telah lama menjadi fokus bagi Sophia Hage, Kampanye dan Humas Lentera Sintas Indonesia. Perannya sebagai aktivis dalam Lentera Sintas Indonesia membuatnya bersentuhan langsung dengan para penyintas, yakni para perempuan korban kekerasan seksual yang kemudian berkumpul dan saling sharing mengenai apa yang mereka alami. Sebagai kelompok dukungan, Sophia bersama Lentera Sintas Indonesia ikut serta dalam mempopulerkan RUU PKS melalui petisi di Change.org, yang telah mencapai 83.329 pendukung. “Kami masih mengumpulkan petisi, karena isu ini tidak bisa selesai dalam waktu cepat dan ini memang membutuhkan perjalanan panjang, bukan sesuatu yang bisa dilakukan secara instan. Dan ini adalah awal dari perjuangan,” ucap Sophia.

Lentera Sintas Indonesia merupakan kelompok dukungan bagi para korban kekerasan seksual yang mereka sebut dengan istilah penyintas. Sebagai kelompok dukungan, Lentera Sintas Indonesia banyak menerima pengaduan dari para penyintas yang menceritakan pengalamannya atas kekerasan seksual yang menimpa diri mereka. Secara rutin, Lentera Sintas Indonesia membuka forum tertutup bagi sekitar 10 penyintas di setiap sesinya. Dalam sesi tersebut, para penyintas bisa saling berbagai kisah mengenai kekerasan seksual yang telah mereka alami.

Pada Agustus 2016, bersama dengan Lentera Sintas Indonesia Sophia melakukan survey dengan 25 ribu koresponden mengenai kekerasan seksual. Hasilnya cukup mencengangkan, yakni 2 dari 3 perempuan mengalami kekerasan seksual dan hampir 90%nya dialami ketika usia anak-anak. Sebanyak 93% dari para korban kekerasan seksual tersebut tidak melaporkan secara hukum dengan berbagai alasan. Kemudian juga, setiap dua jam terdapat 3 perempuan yang mengalami kekerasan seksual dan 50% pelakunya adalah orang dekat atau mereka ketahui secara personal.

“Lingkup kekerasan seksual yang ada selama ini tidak dapat mencakup kasus-kasus yang sebenarnya telah banyak terjadi. Apa yang dinamakan pemerkosaan itu tidak harus selalu penetrasi penis ke vagina. Akan tetapi, bisa juga tidak menggunakan alat kelamin. Kekerasan seksual itu cakupannya lebih luas,” ucap Sophia.

Sophia menuturkan bahwa seringkali yang terjadi tidak hanya penetrasi ke vagina, tetapi juga bisa saja ke anus dan mulut yang dalam beberapa kondisi tidak emmerlukan unsur ancaman atau paksaan. “Ini terjadi seperti misalnya anak perempuan dengan kelainan mental atau relasi ayah ke anak yang dalam kondisi memang mereka tidak bisa menolak,” ucap Sophia.

Meskipun demikian, RUU PKS ini dibuat bukan untuk maksud balas dendam terhadap pelaku kekerasan seksual. “Ranah yang kami bahas dalam RUU PKS bukan menempatkan apa yang telah dilakukan oleh pelaku terhadap korban, maka dilakukan pula terhadap pelaku. Akan tetapi, memastikan bahwa korban mendapatkan penanganan yang baik, pemulihan yang baik dan pastikan pelaku tidak mengulangi kesalahannya setelah dia keluar dari penjara. Ini menjadi penting sebagai pencegahan agar kekerasan seksual ini tidak terjadi lagi di masa depan,” ucap Sophia.

Dalam RUU PKS yang diajukan terdapat pula bab khusus untuk pemulihan dalam makna luas, yakni korban dan juga pelaku. Untuk korban, selama proses pemulihan seringkali terdapat serangkaian tes yang harus dilakukan, seperti visum, namun korban mengeluarkan biaya sendiri. Dalam RUU, biaya pemulihan yang diselenggarakan oleh pusat pelayanan terpadu dibebankan pada APBD/APBDes. Sedangkan pemulihan untuk pelaku mencakup pada pendidikan individual atau kelompok dan konseling untuk mengubah perspektif perilaku.

Gitayanti Hadisukanto : Lindungi Anak Melalui Edukasi Seksual

Tindak kejahatan kekerasan seksual, terutama yang terjadi pada anak-anak di bawah usia 18 tahun seringkali dilakukan oleh orang-orang dekat secara personal dengan korban. Gitayanti Hadisukanto, Spesialis dan Konsultan Psikiatri Anak RS Pondok Indah mengungkapkan pentingnya bagi orang tua untuk memberikan edukasi seks kepada anak yang dapat dimulai dari hal-hal sederhana. “Pendidikan seksual itu bukan tentang bagaimana aktivitas seksual itu dilakukan, tetapi bagaimana memberikan pengertian kepada anak untuk menghormati tubuh mereka dan tubuh orang lain,” ucap Gita.

Lebih lanjut Gita memaparkan bahwa edukasi bisa diberikan melalui kedisiplinan memakai baju atau handuk ketika anak selesai mandi, memberitahu anak untuk menghormati tubuhnya dan tidak mengijinkan siapapun untuk menyentuh anggota tubuhnya kecuali orang tuanya sendiri atau siapapun jika si anak tidak merasa aman dan setuju. “Kebiasaan-kebiasaan ini kalau tidak dimulai sejak kecil, nanti malah jadi terlupa. Nah, ini yang terkadang kurang disadari oleh orang tua yang kemudian bisa menjadi celah bagi pelaku untuk melakukan tindak kekerasan seksual tadi,” ucap Gita.

Namun, dengan kondisi kognitif anak-anak yang masih belum mengerti adanya ancaman untuk dirinya, edukasi seksual juga tidak bisa langsung berhasil dipahami dengan baik oleh anak. Hal ini disebabkan oleh pandangan anak-anak yang menganggap bahwa orang dewasa lebih tau apa yang terbaik bagi dirinya, termasuk tubuhnya. Oleh karenanya, Sophia menganjurkan agar anak memiliki satu orang terdekat yang dianggap sebagai point of information. “Ketika segala tindakan pencegahan sudah dilakukan, namun masih juga kecolongan, maka di sinilah poin of information itu berfungsi. Dengan adanya ini, si anak akan menceritakan apapun yang dialaminya, yang ia rasa tidak benar kepada orang terdekatnya ini, bisa saja ibu, ayah, kakak atau siapapun yang paling dekat dengan si anak,” ucap Sophia.

Selain upaya pencegahan, orangtua juga diharapkan dapat lebih peka dan perhatian terhadap anak. Kehidupan di kota urban dimana cenderung banyak orang tua yang bekerja dan menitipkan anak pada pengasuh di rumah juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Meskipun perhatian dan kasih sayang terhadap anak sulit diwujudkan dalam kuantitas pertemuan, namun dengan meningkatkan kualitas pertemuan dengan anak juga dapat membangun momen kedekatan yang lebih baik.

http://marieclaire.co.id/putus-rantai-kekerasan-terhadap-perempuan/




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.