Bagaimana Menjalankan Ibadah di Luar Negeri??


Sedang Sholat di ruang tunggu stasiun Stoughton“Dimana saja datang waktu sholat, maka sholatlah, karena di situ juga masjid” Hadits Riwayat Abu Zar R.A.

Banyak yang bertanya kepada saya, bagaimana cara saya beribadah ketika berada di Negara yang penduduknya tidak mayoritas Muslim. Sebelum merasakan pergi ke luar negeri, saya berada di comfort zone (zona nyaman) karena saya Islam, NU, suku Jawa, dan tinggal di Negara yang mayoritas penduduknya Islam. Jadi komplitlah saya sebagai orang yang tidak mengalami diskriminasi secara agama dan suku. Namun ketika pertama ke luar negeri pada tahun 2006 dan kebetulan Negara pertama yang saya tuju adalah Amerika Serikat keadaan saya berubah total. Saya menjadi kelompok minoritas, ya minoritas secara agama, budaya dan suku. Bahkan waktu kedua kalinya saya masuk Amerika pada tahun 2007 saya mendapat perlakukan tidak nyaman dari petugas imigrasi di Bandara Honolulu, Hawaii. Petugas imigrasi meminta saya mencopot jilbab ketika mau mengambil foto saya. Dan beberapa hari kemudian setelah saya melaporkan kejadian ini melalui email ke Imigrasi Hawaii kepala Imigrasi mengirimkan permintaan maaf secara resmi melalui email ke saya.

Pertama menjadi kelompok minoritas tentu sangat tidak nyaman, karena dimanapun berada yang minoritas pasti harus menyesuaikan dengan yang mayoritas. Pengalaman di tiap Negara tentu sangat berbeda-beda dalam hal adaptasi. Ketika saya di Amerika dengan ketika saya di Korea atau di Australia tentunya tidak sama, namun pada dasarnya kuncinya adalah kita harus bisa menyesuaikan diri dengan tanpa mengurangi nilai ibadah kita.

Sewaktu saya kuliah di Hawaii saya pernah harus berbuka puasa ketika di dalam kelas. Saat itu saya mengambil kelas di Educational Foundation Department. Untuk jurusan ini kebanyakan kelasnya dilakukan sore hingga malam hari karena mahasiswanya banyak yang berprofesi guru, jadi kalau pagi mereka mengajar. Saat itu kelas saya mulai pukul 17.00 -19.30, dan magrib pukul 18.00. Beruntung dosennya bisa mengerti saya sedang berpuasa sehingga break kelas yang 15 menit disesuaikan waktunya dengan waktu buka puasa saya.

Ibadah yang sifatnya keseharian seperti Sholat menjadi penguji dari keimanan kita. Sebagai mahasiswa biasanya persoalannya adalah jam pelajaran yang berbarengan dengan waktu sholat.  Terkadang tidak punya pilihan lain kami harus menjama’ sholat. Tapi yang lebih sering kami harus mencari tempat dan waktu untuk melakukan sholat.

Jangan pernah disamakan seperti di Indonesia bila waktu sholat datang kita bisa cepat mencari mushola,  bahkan kalau kita butuh ke kamar kecil saat di perjalanan kita bisa langsung tengok kanan-kiri mencari masjid untuk numpang ke kamar mandi. Namun di Negara yang Islam bukan jadi agama mayoritas penduduknya, untuk sholat membutuhkan strategi tersendiri. Saya pernah sholat di belakang papan tulis ketika masih belajar bahasa di HELP (Hawaiin English Language Program), waktu di Australia saya sholat di balik pohon besar, di taman kota. Pernah juga saat di Korea, saya harus numpang sholat di gudang. Bila Idul Fitri dan Idul Adha di Hawaii sholatnya di pinggir pantai dengan pemandangan orang-orang yang sedang berjemur atau lari pagi dengan hewan peliharaan mereka. Di Hawaii penduduk muslimnya tidak terlalu banyak, satu pulau mungkin sekitar 500 orang, dan Masjidnya yang hanya bisa menampung sekitar 150 orang tentu tidak mencukupi, jadilah pilihannya menggunakan fasilitas umum di pinggir pantai.

Di Boston pun yang penduduk Islamnya lumayan banyak tidak selamanya sholat berjama’ah dapat dilakukan di Masjid. Di Northeastern University di Boston ada salah satu ruangan yang diperuntukkan untuk kegiatan seluruh agama. Saya pernah menghadiri pengajian masyarakat muslim Indonesia yang diisi oleh Ustadz Syamsi Ali (Imam Masjid di New York) di tempat tersebut. Saya cukup kaget saat masuk ke toiletnya, karena disitu disediakan tempat wudhu seperti di Negara timur tengah yakni ada tempat duduknya di depan pancurannya. Di tembok ruangan tersebut tertempel gambar tokoh-tokoh dari berbagai agama. Sholat Jumat juga dilaksanakan di tempat tersebut.

Beberapa minggu lalu saya sedang ada acara di daerah Downtown Crossing, ketika waktu sholat dhuhur datang, kebetulan saya bertemu dengan teman Indonesia yang akan melakukan sholat Jumat. Saya pun ikut dia untuk sholat jumat. Ternyata sholat Jumatnya bukan dilaksanakan di Masjid atau tempat terbuka seperti tanah lapang, tapi dilaksanakan di basemen sebuah Gereja tua, nama gerejanya St. Paul. Gereja itu berada di kota Boston, berseberangan dengan Boston Common. “Memang di sini ada masjid mbak, tapi kan masjidnya jauh dan Jumat bukan hari libur, makanya masyarakat muslim mencari tempat sholat jumat yang dekat, agar bisa segera kembali ke tempat kerja. Beruntung pihak gereja memberikan tempat ini,” ujar Ipung, temen saya dari Purwokerto yang sedang mengambil kuliah S2 di Northestern University.  Foto Sholat Jumat di Basemen Gereja St. Paul-2

Ruangan basemen Gereja tersebut  dapat menampung sekitar 150 orang sekali berjama’ah. Namun berhubung masyarakat muslim yang hendak berjama’ah sangat banyak, maka sholat Jumat selalu diadakan dua tahap, yakni jam 13.00 dan jam 13.30. Saat sholat dilaksanakan ada beberapa orang pengurus Gereja yang membantu menjaga barang-barang para jama’ah yang ditinggal di luar.  Di sinilah saya merasakan nikmatnya beribadah dalam balutan toleransi keberagamaan yang tinggi. Saya percaya semua orang yang melaksanakan sholat Jumat di tempat ini datang dengan niatan bersih untuk sujud kepada Allah, mereka tidak lagi memikirkan di mana mereka beribadah, mereka tidak juga dibaluti kebencian terhadap agama lain, yang ada dalam pikiran hanya ingin menyembah pemilik alam semesta.

Berikut tips-tips menjalankan sholat di Negara yang penduduknya bukan Islam:

  1. Pasang aplikasi yang mengingatkan waktu sholat. Website http://www.islamicfinder.org bisa dijadikan rujukan untuk mengunduh aplikasi pengingat waktu sholat.
  2. Bawalah kompas sebagai penunjuk kiblat, atau pasang aplikasi kiblat di gadget anda.
  3. Bawalah selalu kaos kaki untuk menutupi kaki saat sholat.
  4. Bawa selalu botol kecil, botol ini memiliki dua fungsi. Pertama untuk istinja’ (cebok), karena biasanya model toiletnya adalah toilet kering, jadi yang ada hanya tissue. Kedua, bila kita wudhu di wastafel, untuk membasuk kaki kita bisa mengisi botol itu dengan air, lalu membasuh kakinya di dalam toilet.
  5. Bila sedang berada di pertokoan, ambil satu atau dua potong baju, lalu masuklah ke fitting room (kamar pas), dan sholat lah di kamar pas. Bila kamar pasnya pembatasnya tertutup hingga bawah, anda bisa melakukan sholat sepeti biasa. Bila tidak tertutup sampai bawah anda bisa sholat sambil berdiri, Kalau ada tempat duduknya, anda bisa sholat sambil duduk.
  6. Bila anda sedang dalam perjalanan, sholatlah sambil duduk di dalam kendaraan atau di tempat mana saja yang tidak mengundang pandangan orang.
  7. Bila berada di taman yang cukup aman, sholatlah di taman.
  8. Bila berada di sebuah kampus, usahakan cari di internet tempat muslim community di kampus tersebut. Biasanya mereka menyediakan tempat sholat.
  9. Bila di kampus tidak ada Muslim community, cari tempat-tempat sepi dan bersih untuk melakukan sholat, seperti di deretan buku-buku di perpustakaan, kelas-kelas yang sedang tidak dipakai kuliah.

Mari tegakkan sholat dimanapun berada

Tulisan ini telah di publikasikan di Radar Banyuwangi pada Senin 6 Januari 2014




Nihayatul Wafiroh

Adalah anggota DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) yang mewakili Daerah Pemilihan Jawa Timur III (Banyuwangi-Bondowoso-Situbondo). Saat ini juga dipercaya sebagai Wakil Sekretaris Jenderal di Dewan Pengurus Pusat PKB. Aktif dalam Kaukus Perempuan Parlemen RI sebagai Wakil Sekretaris.